Mohon tunggu...
Devi Yuanitasari
Devi Yuanitasari Mohon Tunggu... Freelancer - devi.yuanitasari@gmail.com

ingin kembali menghidupkaan hobi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Shaming di Antara Kita: Mengapa Shaming Jadi Budaya?

4 September 2019   23:15 Diperbarui: 4 September 2019   23:17 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dan seorang ibu sudah memiliki pertimbangan atas pilihannya. Lalu kemudian kenapa kita mempertanyakan keputusannya? "anak kok disuapin terus. Kapan mandirinya?" atau seblaiknya "anakku sih tak suapin aja, ntsr gede juga bisa makan-makan sendiri."

Ini bahkan bukan pertanyaan kan, tapi sebuah kalimat merendahkan atas apa yang dilakukan ibu lain. Itu masih sebatas cara makan, belum lagi masalah yang lain. Duuh,..wakeh tenan lah pokoknya.

Ketiga, Baby shaming atau mengomentari bayi atau anak orang lain. Nah, ini nih yang pasti sering banget kita denger akhir-akhir ini terutama di dunia instagram. Berapa kali kita dengar berita perseteruan antara selebritis dengan netizen yang berkomentar negatif terhadap putra atau putri mereka di instagram? Sering toh?

Yang terbilang baru seorang selebgram yang anaknya dikomentarin pedas, dibilang tidak lucu, bermata kurang normal dan bahkan secara terang-terangan mengatakan tidak suka teerhadap si bayi. Sampai si ibu berhenti memposting foto anaknya selama beberapa waktu karena hal tersebut.

Haduuh, ini kenapa ya dengan mulut netizen? Apa karena mereka tidak suka dengan si ibu? Tapi kenapa kemudian mereka menyerang si bayi kecil yang tidak berdosa? Atau mereka merasa apa yang mereka tulis itu wajar saja? Sungguh keterlaluan kalau benar mereka merasa itu hal biasa. Padahal si kecil yang tidak tahu apa-apa itu sebenarnya lucu-lucu saja. Ada apa sebenarnya dengan pemikiran mereka?

Seorang ibu pasti sangat bersyukur dengan kehadiran anaknya. Mereka ingin sekali mengabadikan tiap momen milestones anak mereka. Tapi kemudian komentar negatif yang mereka dapatkan bahkan dari orang yang tidak mereka kenal. Siapa yang gak uring-uringan coba.

Keempat, price shaming atau mengomentari harga suatu barang yang dibeli oleh orang lain. Ini sih jenis shaming terbaru yang saya temukan sendiri. Dari observasi. Dari pengalaman pribadi.

Ini biasanya terjadi setelah kita membeli suatu barang atau setelah belanja. Tunggulah beberapa saat, nanti akan kau dengar beberapa komentar yang anggaplah itu lucu agar tidak menyakiti hatimu.. hehe.

"Berapa beli itu? Kok mahal? Disana loh lebih murah beda 500 rupiah loh, kan lumayan." "Kamu dapat harga berapa tadi, sepuluh ribu ya? Iho, aku beli kemarin gak sampai segitu, cums sembilan ribu tujuh ratus lima puluh loh," Dooeeeeng.

Dan komentar-komentar semacamnya yang seolah-oah ingin membuat kita menyesal membeli barang tersebut tanpa bertanya dulu kepadanya. Kan sebel ya. Padahal kita beli karena butuh atau karena kita emang sanggup beli tapi yang terjadi kita jadi merasa mengasihani diri sendiri.

Iya ya, kenapa gak beli disana aja? Kenapa gak ini, gak itu. Perasaan bersalah bisa muncul loh hanya dari komentar semacam itu. Beda 500 perak padahal, kenapa dia mempermasalahkan? dan kenapa kita jadi kepikiran?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun