Mohon tunggu...
DESIYANA UTARI
DESIYANA UTARI Mohon Tunggu... Mahasiswi -

Mahasisiwi S1 Program Studi PPKn, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mataram.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi Kecil-kecilan

28 April 2017   14:38 Diperbarui: 28 April 2017   14:56 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Korupsi rupanya menjadi isu utama di negeri yang penuh carut marut ini. Definisi korupsi menurut saya adalah mengambil sesuatu yang bukan haknya dengan memanfaatkan posisinya sebagai pemegang amanah. Termasuk di dalamnya adalah menerima suap dan manipulasi. Dalam pengertian agama Islam, sesuatu yang bukan haknya itu jelas hukumnya haram.  

Langkah KPK menangkap pelaku korupsi kelas kakap patut diacungi jempol. Pelaku korupsi kelas kakap yang sudah ditangkap adalah politisi DPR, jaksa, pejabat pusat, kepala daerah, pejabat daerah, dan lain-lain. Kiprah KPK begitu luar biasa hingga kado pernikahan pejabat atau anak pejabat pun perlu disidik apakah mengandung unsur gratifikasi (pemberian hadiah kepada seseorang karena jabatan yang disandangnya). Untuk kasus terakhir ini, saya sangat salut kepada Pak Hidayat Nur Wahid (Mantan Ketua MPR), sebab beliaulah yang berinisiatif menelpon KPK untuk memeriksa apakah kado pernikahan keduanya itu mengandung unsur grattifikasi. Politisi PKS memang bersih dan jujur, pantas saja partai ini mendapat simpati banyak orang.

Koruptor kelas kakap memang banyak, tetapi sebenarnya koruptor kelas teri jauh lebih banyak lagi. Sayangnya KPK tidak menjangkau koruptor kelas teri. Koruptor kelas teri ini, atau korupsi kecil-kecilan, banyak terdapat di sekitar kita. Cobalah berbelanja di toko supermarket atau di toko swalayan yang sekarang menjamur di pemukiman penduduk. 

Kasir toko sering mengambil uang konsumen meskipun hanya 25 atau 50 rupiah atau kurang dari itu. Misalkan total nilai belanjaan kita Rp 9.850 dan kita menyerahkan uang Rp 10.000, maka biasanya kasir hanya mengembalikan uang Rp 100 saja dengan alasan tidak ada uang receh Rp 50 (saya yakin uang receh Rp 50 masih berlaku dan masih banyak beredar). Masih sukur kalau kasir menambahkan sebuah permen sebagai pengganti uang Rp 50 itu (meskipun cara ini tidak adil karena pembeli tidak minta diganti dengan permen). Kalau konsumen protes, misalnya tidak mau menerima kembalian berupa permen, biasanya si kasir memasang muka cemberut kepada konsumen itu.

Rp 50 memang kecil, orang pikir berapalah nilainya itu di zaman serba mahal ini. Kebanyakan konsumen tidak mempermasalahkan hal ini atau tidak ingin mencari ribut (tipikal orang Indonesia: suka mengalah). Tetapi, coba hitung, jika ada 1000 orang yang berbelanja dalam satu hari lalu dan dari setiap konsmen kasir mengambil Rp 50, maka dalam satu hari kasir mendapat uang tidak halal sejumlah Rp 50.000. 

Kalikan saja dalam satu bulan, itu sudah Rp 1.500.000, atau paling sedikit Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000 bisalah didapat sang kasir (dan tokonya) kalau konsumen yang berbelanja tidak banyak. Banyak orang sudah mengeluhkan kejadian semacam ini, tetapi pemilik toko/supermarket biasanya tutup mata atau tidak mau tahu. Hak sebagai konsumen sudah biasa tidak mendapat perlindungan di negeri ini.

Kasus karupsi sang kasir tadi baru satu contoh. Masih banyak lagi hak-hak masyarakat yang diambil secara tidak jujur oleh pihak yang mempunyai otoritas.

Korupsi kecil-kecilan juga terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Misalnya, dosen sering tidak masuk kuliah karena alasan sibuk (sibuk proyek, bisnis, dan urusan pribadi). Hak mahasiswa untuk mendapat layanan pengajaran menjadi berkurang. Sukur-sukur kalau kehilangan jam kuliah itu diganti pada waktu lain hari. Kalau tidak ada penggantian, maka dosen semacam ini telah melakukan korupsi waktu yang merupakan hak mahasiswa. 

Tidak hanya dosen, mahasiswa juga ada yang melakukan korupsi. Menjiplak laporan tugas/PR teman, mengambil kode program orang lain tanpa izin, mencontek dalam ujian, dan lain-lain, semua itu juga termasuk korupsi. Jika sejak muda sudah sering berbuat curang, maka kebiasaan itu lama-lama dianggap hal yang lumrah/wajar, dan akhirnya ketika dia menjadi pejabat atau mempunyai kedudukan, maka perilaku korupsi itu menjadi budaya.

Itulah pentingnya hidup jujur. Satu hal yang harus diingat bahwa ada kehidupan sesudah mati. Di sana semua perbuatan kita akan diadili. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun