Mohon tunggu...
Sari Novita
Sari Novita Mohon Tunggu... Penulis - Imajinasi dan Logika

Akun Kompasiana Pertama yg saya lupa password-nya dan Terverifikasi : http://www.kompasiana.com/sn web: www.sarinovita.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jadikan Coklat Sebagai Gaya Hidup, Budaya di Indonesia

27 Agustus 2017   21:07 Diperbarui: 27 Agustus 2017   21:34 2577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

powder-59a2cfaf5b68664da03e2112.jpg
powder-59a2cfaf5b68664da03e2112.jpg
Permasalahan

Sayangnya, cocoa butter Indonesia hampir semuanya dijual ke luar negeri, yang tersisa hanya bubuk coklat dan yang banyak dijual pasar kita coklat olahan yang dicampur minyak sayur [tidak origin lagi]. Untuk menjadikan coklat sebagai budaya, masyarakat perlu mencicipi coklat origin [butter] dan tidak menggunakan pestisida. Tidak berbeda dengan kopi, kini, single origin telah menjadi permintaan pecinta kopi yang mulai meninggalkan kopi sachet dan kopi yang  dijual caf-cafe seperti Starbuck. Pada area inilah terjadi dilemma, petani harus bertahan hidup sehingga mereka menjualnya dengan mengikuti permintaan mutu produsen-produsen raksasa. Dalam hal ini kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa.

  • Pemahaman petani mengenai kakao yang kurang  sehingga kualitas yang dihasilkan rendah. Termasuk pengetahuan pencegahan dan pegendalian hama, dan kerap asal tanam.
  • Ketergantungan petani pada tengkulak
  • Perubahan pejabat, missal Bupati ganti, focus tanaman perkebunan  pun diganti dan kelompok yang dibantu itu-itu saja
  • Petani tidak menghitung unit cost
  • Pemerintah hanya mampu menjangkau 5% seputar personil, pendampingan, dan sebagainya.

Solusi

Petani kakao berpotensi memiliki pendapatan Rp.60 juta, per hektarnya bisa hasilkan  2 ton biji kering lalu dikalikan Rp.30.000,-.  Namun bila produktivas rendah dapat berimbas pada mutu, daya beli, dan pendapatan.  Yang dibutuhkan saat ini adalah mendirikan komunitas petani yang besar, untuk 1 desa perlu ada 1 lembaga/komunitas. Program ini telah dicoba di Sulawesi Tenggara dan 138 lembaga telah dibentuk. Memerlukan orang-orang yang memiliki empati, kepedulian, karakter social worker. Dan menurut Bapak Rusli, orang yang tidak punya kebun pun bisa jadi ahli kakao bila ia punya niat, keinginan, dan kepedulian yang besar.

Hal-hal yang perlu diketahui petani secara umum:

  • Biaya pemeliharaan setiap pohonnya pun tidak boleh lebih dari Rp.14.000,- jika lebih, pasti ada yang tidak beres.
  • Inkubasi dan konservasi tanah, rorak.
  • Tanaman kakao bisa berdampingan dengan tanaman lain, tapi perlu pengenalan dan kemampuan indikasi adaptatif.
  • Bibit dan proses fermentasi tidak menjamin kualitas tapi tata kelola tanaman. Kebun yang terjaga kebersihannya akan jauh dari serangan hama dan mudah mendapatkan sertifikasi. Dan berkonsep organik
  • Menanam pohon pelindung di bulan kemarau, sebab jika ditanam pada musim hujan, tanaman akan rontok.
  • Setiap 10 tahun sekali perlu melakukan analisa tanah.
  • Harus integration farming system

Sedangkan dari segi lainnya, Bapak Rusli menganjurkan adanya social entrepreneurship program yang juga menggerakan ekonomi kreatif. Dari factor budaya, Irfan Hakim mengatakan coklat harus masuk ke dalam gaya hidup, "Lifestyle is the key." Apalagi coklat mempunyai produk turunan yang banyak dan ini merupakan peluang besar.

Yang harus diubah juga adalah mindset petani. Menurut Irfan Hakim, "Kita ini menjual rasa bukan produk." Jika ini telah tertanam di kepala petani dan pelaku kakao lainnya, kualitas coklat dan kelancaran bisnis akan datang dengan sendirinya.

Single origin dari komoditas coklat perlu diangkat agar traceability [jejak] dapat ditelesuri. Hingga sumbernya mudah ditemukan dan ekonomi berkelanjutan dapat terus berjalan lancar. Ucapnya lagi, "Masa depan dunia berasal dari sumber. Minyak kakao itu lebih real." Lanjutnya, coklat Flores dan Aceh pasti berbeda rasa dan juga ceritanya. Salah satu jalan menjadikan coklat sebagai budaya ialah dengan bercerita [story].


Agro Wisata Coklat

Hal menarik lainnya berbincang dengan Arif Zamroni yang terus terang bahwa Kampung Coklat Blitar pernah setahun tak ada pengunjung. Pada suatu hari para pendiri dan pemilik Kampung Coklat Blitar [yang pada dasarnya petani] sadar social media, creative thinking, dan berbagi adalah kunci dari kesuksesan suatu usaha, apapun bidangnya itu.  Bayangkan, Blitar tidak mempunyai tempat wisata yang "wah" seperti daerah-daerah lain, hanya satu Makam Presiden Pertama Indonesia, Ir. Sukarno, yang mendatangkan banyak pelancong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun