"Kelemahan panitia Nobel Kesusastraan di Stockholm, Swedia," ujar Ben Anderson adalah kunci utamanya."Terabaikannya Asia Tenggara jelas merupakan kelemahan dan sekaligus titik buta panitia Nobel," tegasnya.
Diakui Ben Anderson, para Sastrawan Asia memang pernah meraihnya, semasa Rabindranath Tagore dari India. Tetapi India pada tahun 1913 itu masih jajahan Inggris. Belum sepenuhnya mewakili India. Permasalahan penterjemahan juga menjadi kendala utama.
Terjemahan Novel Pram, "Tetrologi Buru," ke dalam bahasa Inggris, roh kesusatraannya hilang begitu saja. Boleh dikatakan terjemahannya jelek.
Kesimpulannya bangsa Indonesia yang juga merupakan negara jajahan Belanda, tidak bernasib sama dengan negara-negara jajahan lain. Negara Prancis, Inggris dan Spanyol telah melakukan lobi untuk sastrawan negara bekas jajahan mereka.Tetapi Belanda?
Perkembangan di Indonesia ada yang mengkaitkan bahwa pemerintah Indonesia tidak bersungguh-sungguh mendukung Novel Pram dikarenakan masa lalu Pram yang diduga terlibat Partai Komunis Indonesia sehingga dibuang ke Pulau Buru. Memang Novel "Tetra Buru", atau "Tetra Pulau Buru," atau "Tetralogi Bumi Manusia," adalah nama dari empat Novel karya Pram yang terbit dari tahun 1980 hingga 1988. Novel ini pernah dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung Indonesia selama beberapa masa.
Menurut saya, sebaiknya ketika Novel Pram dinominasi, pemerintah mendukung hal tersebut. Saya berkesimpulan, banyak faktor yang mempengaruhi mengapa Novel Pram gagal meraih Nobel Kesusatraan, baik dari jeleknya penterjemahan sebagaimana diungkap Ben Anderson, kemauan negara penjajah Belanda melobi Komite Nobel hingga dukungan pemerintah Indonesia sendiri terhadap Novel Pram.
Tentang Novel Pram ini adalah sebagai catatan, bahwa bangsa Indonesia pernah bersinggungan dengan panitia Nobel di bidang sastra. Ke depan, kelemahan di masa lalu bisa diperbaiki, agar usulan di atas dapat terwujud.