Mengapa saya menulis tentang Presiden Irak Saddam Hussein? Itulah pertanyaan belakangan ini yang dialamatkan kepada saya. Tetapi pertanyaan itu sangat mudah dijawab, ketika seseorang mengamati perkembangan tentang "Negara 1001 Malam," itu.
"Negara 1001 Malam, " itulah julukan yang diberikan kepada negara yang terletak di antara garis litang 37.25 derajat dan 29.5 derajat, serta garis bujur 48.45 derajat dan 38.45 derajat. Wilayahnya meliputi area seluas 438.446 kilometer persegi dengan areal yang dapat ditanam 75.364 kilometer perdegi.
Sudah tentu data ini saya cuplik tahun 1998, ketika menulis buku "Saddam Hussein Menghalau Tantangan" (Jakarta: Penebar Swadaya, 1998).
Buku Saddam Hussein ini merupakan catatan saya selama berkunjung ke Irak untuk pertama kalinya pada Desember 1992 ketika negara itu dikucilkan oleh negara-negara Arab lain, karena Irak menyerang Kuwait dan menganeksasi wilayah itu sebagai bagian dari Irak.
Di sinilai dimulai sengketa awal Irak dengan Amerika Serikat (AS) yang ketika terjadi Perang Irak-Iran pada 22 September 1980, AS mendukung Irak.
Pada waktu itu Indonesia dan negara lain, umumnya negara Dunia Ketiga ikut menentang embargo ekonomi dan udara yang dilakukan AS. Hanya Jordania yang membuka jalan darat ke ibu kota Irak Baghdad. Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas waktu itu cemas dan mengingatkan AS agar tidak menyerang Irak.
Tokoh pers Burhanudin Mohamad Diah (B.M.Diah) ikut mengingatkan hal yang sama. Inilah latar belakang mengapa B.M.Diah mengutus saya langsung ke Irak. Jika berdasarkan informasi dari negara maju, sudah tentu memihak AS dan sekutunya.
Perjalanan saya itu melelahkan, tetapi memuaskan dan menggembirakan. Jadi tujuan saya ke Irak, juga ikut mendukung kepentingan negara Dunia Ketiga. Bayangkan, saya harus ke Jordania terlebih dahulu agar bisa menuju Baghdad melalui jalan darat.
Melalui jalur udara langsung ke Baghdad waktu itu tidak mungkin karena Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menerapkan larangan terbang dari dan ke Irak di kawasan larangan terbang paralel 32 derajat lintang selatan dan 36 derajat lintang utara. Oleh karena itu, siapa pun harus jalan darat darat dari Jordania-Irak dan sebaliknya.
Bayangkan di jalan datar padang pasir itu, saya menempuh jarak 885 kilometer yang ditempuh dengan taksi yang saya sewa lebih kurang 13 jam.
Kemudian setelah saya di Jakarta, maka pada tanggal 24 Juni 1998, saya menerima surat dari Kedutaan Besar Irak di Jakarta. Surat itu datang dari Kantor Sekretaris Pers Presiden Republik Irak yang menyatakan penghargaan mengenai buku yang saya tulis: "Saddam Hussein: Menghalau Tantangan,"(Jakarta: PT.Penerbit Swadaya, 1998). Buku ini saya kerjakan setelah di Jakarta bekerja sama dengan Kedutaan Besar Irak di Indonesia (Jakarta).
"Terimakasih atas simpatinya dan sikap mendukung jihad/perjuangan Irak beserta prinsipnya," jelas isi surat tersebut. Sudah tentu buku tersebut telah dibaca oleh Presiden Irak waktu itu, Saddam Hussein. Saya yakin telah diterjemahkan dulu ke dalam bahasa Arab.
Selanjutnya pada 13 Agustus 1998, saya diundang oleh Duta Besar Irak di Jakarta Dr.Sa'doon J al-Zubaydi untuk menerima penghargaan tersebut secara resmi. Duta Besar Irak ini adalah mantan Penterjemah Kepala Presiden Saddam Hussein. Terlihat saya bersama Duta Besar Irak di Jakarta, Dr.Sa'doon J al-Zubaydi di saat pertemuan.
Setelah upacara kehormatan ini dipublikasi harian "Kompas" edisi Sabtu, 15 Agustus 1998, maka pada 18 September 1998 dan 23 September 1998, dua buah surat ucapan selamat datang dari Direktur Jenderal Radio-Televisi-Film Drs.Ishadi SK, M.Sc dan dari Menteri Penerangan RI yang ditanda-tangani oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika H.Dailami.Kedua surat tersebut diberi tembusan kepada Menteri Luar Negeri RI dan Duta Besar Irak di Jakarta.
Belakangan ini nama Presiden Saddam Hussein kembali terdengar di dunia internasional setelah 10 tahun dihukum gantung. Seorang agen CIA bernama John Nixon menulis sebuah buku:"Debriefing the President:The Interrogation of Saddam Hussein."Penulis buku inilah yang pertama kali menginterogasi Saddam Hussein setelah berhasil ditangkap.
Di dalam wawancara itu ternyata Saddam Hussein tidak pernah terbukti menyimpan senjata pemusnah massal sebagaimana dituduhkan Amerika Serikat di bawah Presiden AS George W Bush.
Juga di dalam interogasi tersebut, dinyatakan, ia sangat mencintai kedua putrinya Rana (Foto di bawah/Reuters/DM) dan anak perempuan tertuanya Raghad (Foto paling akhir) yang sekarang bermukim di Jordania. Sewaktu ayahnya dihukum gantung, anak perempuannya ini mengaku tidak ingin melihatnya di televisi. Sebagai orang tua, Saddam Hussein juga mencintai kedua anak laki-lakinya, Uday dan Qusay yang telah tewas.