Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tinjauan Kasus Remaja Penghina Jokowi dan Perbandingannya dengan Kasus Serupa Lain

27 Mei 2018   15:41 Diperbarui: 27 Mei 2018   19:47 1782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Meskipun orangtuanya, dan dia sendiri sudah menyatakan penyesalannya dan meminta maaf/ampun kepada Presiden Jokowi dan masyarakat Indonesia atas perbuatannya yang menghina dan mengancam Presiden Jokowi melalui videonya yang diunggah di Instagram-nya, @jojo_ismyname, yang kemudian viral, Royson (16), tetap saja diproses hukum oleh Polda Metro Jaya.

Meskipun seperti yang dijelaskan ayahnya, apa yang dilakukan Royson (Roy) hanya merupakan suatu kenakalan remaja, hanya bercanda, sama sekali tidak bermaksud menghina, mengancam, atau membenci Jokowi, tetapi saja apa yang telah dilakukan Roy tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana.

Secara umum, kenakalan remaja tertentu pun bisa merupakan suatu tindak pidana, termasuk apa yang dilakukan Roy itu.  Menghina dan mengancam  Presiden sebagai  simbol negara (bukan Jokowi secara pribadi) bukan sesuatu yang boleh dijadikan bahan candaan,  penghinaan,  apalagi ditransmisi ke media sosial yang kemudian viral.

Polisi menjemput Roy di rumahnya di kawasan Kembangan, Jakarta Barat, pada 23 Mei 2018 sore, dan dengan diantar ayahnya, dibawa ke Polda Metro Jaya untuk kepentingan pemeriksaan. Setelah diperiksa insentif selama 1x24 jam, polisi  menetapkan Roy sebagai anak yang berhadapan dan berkonflik dengan hukum, bukan berstatus tersangka sebagaimana jika orang dewasa melakukan tindak pidana serupa.

Status tersebut diberikan kepada Roy, karena meskipun kasusnya diproses hukum, tetapi karena  berdasarkan hukum ia masih tergolong anak di bawah umur (16 tahun), maka yang diberlakukan adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (UU Peradilan Anak). 

Yang dimaksud dengan Sistem Peradilan Anak berdasarkan Undang-Undang tersebut adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.


Yang dimaksud dengan Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Sedangkan yang dimaksud dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. (Pasal 1 angka 3).

Ketentuan batasan umur terendah seorang Anak sudah dapat diproses hukum itu didasarkan pada pertimbangan bahwa sejak usia 12 tahun secara relatif seorang Anak sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia.

Sebagai anak yang berhadapan/berkonflik dengan hukum, proses hukum kepada Roy, berbeda dengan proses hukum terhadap orang dewasa.

Pada setiap tahapan proses hukum yang harus dihadapi Roy kelak, ia akan selalu didampingi oleh orangtuanya/wali, dan/atau pekerja sosial (misalnya dari LPKIA), selain penasihat hukum, dan pada setiap tahapan dari proses hukum itu harus mengutamakan kepentingan kejiwaan sang anak dan tumbuh kembangnya. 

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan,  Roy bakal dijerat dengan Pasal 27 ayat 4 juncto Pasal 45 ayat 4 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2006 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dengan ancaman hukuman berupa pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000.-

Namun demikian, kata Argo,  Roy tidak ditahan, melainkan guna keperluan penyidikan lebih lanjut, ia dititipkan  di Panti Sosial Marsudi Putra milik Kementerian Sosial di Cipayung, Jakarta Timur. Demikian pula sejak dimulainya pemeriksaan terhadapnya, Roy telah didampingi petugas dari Lembaga Perlindungan Ibu dan Anak (LPKIA).

Hal tersebut sesuai dengan Pasal 32 UU Peradilan Anak yang menentukan bahwa penahanan terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum tidak boleh dilakukan dalam hal Anak tersebut memperoleh jaminan dari orangtua/wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.

Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

Pada tahapan peradilan, Anak dapat ditempatkan di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), yaitu tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung, yang mengawasinya juga bukan petugas sipir, melainkan petugas dari Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut dibuat berdasarkan pertimbangan antara lain: bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan pelindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Oleh karena itu meskipun seorang anak telah diduga melakukan suatu tindak pidana, maka ia tidak boleh diperlakukan sama dengan dengan terduga/tersangka pelaku tindak pidana dewasa. Mulai dari proses pemeriksaan, penyidikan, peradilan, vonis hakim, sampai dengan pelaksanaan vonis hakim, anak yang berkonflik dengan hukum harus selalu mendapat perlindungan khusus demi kepentingan kejiwaan dan tumbuh kembangnya.

Apakah setelah ini, Roy pasti akan diproses sampai ke tingkat Pengadilan Anak, dan seterusnya?

Jiwa dari UU Peradilan Anak ini adalah sedapat mungkin menghindari Anak yang berkonflik dengan hukum sampai dipenjara. Penjara hanya merupakan jalan terakhir yang ditempuh, yaitu jika semua cara lain yang diupayakan untuk menghukum si Anak tidak memenuhi  syarat untuk dilakukan.

Oleh karena itu Pasal 5 UU Peradilan Anak itu menegaskan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif, dan wajib pula diupayakan Diversi.

Yang dimaksud dengan Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (Pasal 1 Angka 6).

Yang dimaksud dengan Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (Pasal 1 Angka 7).

Tujuan Diversi adalah: a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Pasal 7 Ayat 1 mewajibkan upaya Diversi dilakukan pada setiap tingkatan proses hukum, yaitu pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri.

Pasal 7 Ayat 2: Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Pasal 8 Ayat 1: Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

Pasal 11: Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain: a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau d. pelayanan masyarakat.

Pasal 13 Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal: a. proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan.

Dari ketentuan Pasal-pasal tersebut di atas, maka penyelesaian kasus Roy tersebut, pertama-tama harus diupaya penyelesaiannya dengan pendekatan Keadilan Restoratif, dan dengan cara Diversi.

Apabila Pendekatan Restoratif dengan cara penyelesaian Diversi dapat dilakukan, maka kesepakatan yang sangat diharapkan adalah adanya kesepakatan untuk mewajibkan Roy mengikuti pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS, atau diwajibkan melakukan pelayanan masyarakat (pekerjaan sosial), berdasarkan Pasal 11 UU Peradilan Anak. Dengan demikian diharapkan ada efek jera dan edukasi untuk Roy, sekaligus sebagai peringatan untuk anak-anak lain sepantaran dengan dia agar jangan ada lagi yang melakukan perbuatan serupa.

Jika pendekatan Keadilan Restoratif dan cara Diversi tersebut gagal dilaksanakan, barulah ditempuh proses peradilannya, yaitu Pelaku (Roy) harus mengikuti proses persidangan Anak, yang wajib dilakukan secara tertutup pada setiap persidangannya, kecuali pada sidang pembacaan vonisnya.

Seperti yang telah disebutkan di atas, jiwa dari UU Peradilan Anak ini adalah sedapat mungkin menghindari Anak yang berkonflik dengan hukum sampai dipenjara. Penjara hanya merupakan jalan terakhir yang ditempuh, yaitu jika semua cara lain yang diupayakan untuk menghukum si Anak tidak memenuhi  syarat untuk dilakukan.

Demikianlah maka Pasal 81 Ayat 1 UU Peradilan Anak juga memberi alternatif vonis penjara terhadap Anak sebagai hal yang paling terakhir dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang pada intinya tetap memperhatikan perkembangan jiwa dan tumbuh kembang si Anak.

Anak yang divonis penjara pun tidak ditempatkan di Lapas dewasa, melainkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), yaitu lembaga atau tempat khusus Anak menjalani masa pidananya.

Pasal 81 Ayat  1 menetapkan:  Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat.

2. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

3. Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak berumur 18 (delapan belas) tahun.

4. Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

5. Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. 

6. Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Jika keadaan dan perbuatan Anak tidak membahayakan masyarakat, maka hukuman yang dapat dijatuhkan hakim kepada Anak adalah sebagaimana ditentukan oleh Pasal 71 Ayat (1). Di Pasal ini juga kita melihat bahwa hukuman penjara ada pada urutan yang terakhir.

Pasal 71 (1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat: 1) pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; atau 3) pengawasan. c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara.

(2) Pidana tambahan terdiri atas: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. pemenuhan kewajiban adat.

(3) Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

(4) Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak.

Pasal 76 (1) Pidana pelayanan masyarakat merupakan pidana yang dimaksudkan untuk mendidik Anak dengan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan kemasyarakatan yang positif.

(3) Pidana pelayanan masyarakat untuk Anak dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam.

Membandingkan Kasus Roy dengan Kasus Farhan yang Telah Dipenjara

Jika kita memperhatikan dengan saksama video Roy yang menghina dan mengancam Presiden Jokowi tersebut, memang kelihatan video tersebut dibuat bukan dengan maksud serius, hanya iseng-iseng atau lucu-lucuan.

Hal tersebut kelihatan dari video itu sendiri, kelihatan di tengah-tengah aksinya itu Roy ada menahan tawa, kemudian di ujung video sebelum selesai, tampak juga dia tidak dapat menahan tawanya, tetapi sebelum kelihatan ia tertawa lepas, video untuk sudah selesai.

Roy mengaku, video itu dibuat sekitar 3 bulan lalu, di kelas SMA-nya, karena ditantang teman-teman SMA-nya. Selain itu, katanya, untuk menguji kehebatan Polisi, seberapa cepat bisa melacak dan menemukannya.

Namun, seperti yang sudah disebut di atas, menghina dan mengancam seseorang apalagi Presiden bukan suatu hal yang bisa dipakai untuk iseng-iseng, lucu-lucuan, atau apapun alasannya. Apalagi ditransmisi ke media sosial, dan viral.

Dalam proses penyidikan selanjutnya, Polisi perlu juga memanggil untuk diminta keterangannya teman-teman Roy, yang katanya menantangnya untuk melakukan perbuatan tidak patut itu.

Ada yang lalu membanding-bandingkan kasus penghinaan dan pengancaman terhadap Presiden Jokowi yang dilakukan Roy itu dengan kasus serupa yang terjadi tahun lalu di Medan, yang dilakukan oleh seorang pemuda bernama Farhan Balatif, disertai dengan komentar-komentar negatif bahwa Polisi diskriminatif, dengan memperlakukan Roy secara istimewa. Ada pula komentar-komentar vulgar bernada SARA.

Meskipun sama-sama melakukan penghinaan dan pengancaman terhadap Presiden di media sosial yang kemudian viral, apakah kasus Roy dan kasus Farhan itu benar-benar sama, sehingga demikian harus diterapkan pula dengan dasar hukum acara yang sama?

Pada Juli 2017, Farhan Balatif mengunggah penghinaan dan ancamannya kepada Presiden Jokowi  dan kapolri Jenderal Tito Karnavian  di akun Face Book dengan nama samaran Ringgo Abdillah, dengan foto orang lain (pria) memegang sepucuk senapan mesin. Di status Face Book itu ia menulis:

Di hari kemerdekaan Indonesia ke-72, gue akan merayakannya dengan menginjak foto Jokowi...

Gue berharap di waktu yang akan datang bisa menginjak kepala Jokowi sampai pecah, biar perlu otaknya juga berserakan di tanah.

#DirgahayuIndonesia72

Kalimat itu disertai dengan foto sebuah kaki kanan bersandal menginjak foto Presiden Jokowi.

Pada status lainnya, Farhan menulis:

Banyak orang menghina jokowi dan tito karnavian masuk penjara dalam hitungan hari.. tapi kenapa gue yang telah sering menghina, mengedit wajah jokowi dan tito karnavian sampai sekarang belum masuk penjara??????????

Hei pak polisi, tangkap gue, kalau enggak, gue akan rekrut teman-teman gue untuk menguasai medsos agar si jokoberuk tumbang di pilpres.. ...

Pada 9 Agustus 2017, Satreskrim Polrestabes Medan menangkap Farhan di kediamannya, di Jalan Bono, Kelurahan Glugur Darat I, Medan.

Dari hasil pemeriksaan Polisi, diketahui saat melakukan perbuatannya itu Farhan Balatif sudah berusia 18 tahun lebih, berarti ia sudah masuk pada kategori orang dewasa, sehingga sistem peradilan yang berlaku baginya adalah sistem peradilan umum, sesuai denganUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, bukan Peradilan Anak.  

Saat diperiksa Polisi, Farhan mengaku ia sengaja melakukan perbuatan itu (bukan hanya sekali itu saja) karena terlalu kesal dengan kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi, mulai dari masalah kenaikan harga pangan, tingginya angka pengangguran, hingga impor bahan pangan.

Terungkap pula Farhan juga mengelola 30 akun Face Book dengan nama samaran, yang dia buat khusus untuk menyebarluaskan rasa bencinya kepada Presiden Jokowi berupa ujar-ujar kebencian dan penghinaan seperti yang terungkap pada Face Book dengan nama samaran Ringgo Abdillah itu.

Ketika itu, dalam konferensi persnya, Kapolrestabes Medan Kombes Pol. Sandi Nugroho mengatakan, cara kerja Farhan itu mirip sekali dengan cara kerja yang dilakukan oleh Saracen.

"Yang jelas adalah polanya Ringgo sama dengan polanya Saracen, dia juga menggunakan KTP palsu, jadi KTP yang sudah diedit. Sehingga itu bisa dipublikasikan untuk bisa melakukan penistaan terhadap orang maupun untuk mengadu domba dengan kelompok-kelompok lain," kata Sandi di Mabes Polri, Jakarta, waktu itu (30/8/2017).

Farhan Balatif dijerat Polisi dengan Pasal 45 ayat 2 Jo Pasal 28 ayat 2 subsidair Pasal 27 ayat 3 UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pada 16 Januari 2018, Majelis Hakim  Pengadilan Negeri Medan mengvonis Farhan 18 bulan atau 1,5 tahun penjara, plus denda Rp 10 juta subsider 1 bulan penjara. Farhan pun tidak naik banding, ia menerima vonis tersebut.

Dari fakta-fakta tersebut, diketahui meskipun kasus pidananya sama dengan jerat pelanggaran ketentuan Undang-Undang yang sama, antara kasus Roy dengan Farhan, terdapat perbedaan subyek hukum/pelakunya.

Roy masih tergolong anak-anak (16 tahun) sehingga demikian proses hukum kasusnya menggunakan Sistem Hukum Peradilan Anak sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dengan segala konsekuensi hukumnya sebagaimana sudah diuraikan di atas.

Sedangkan Farhan saat melakukan perbuatannya itu sudah berusia lebih dari 18 tahun, atau sudah dewasa, sehingga demikian proses hukumnya didasari pada sistem peradilan umum (dewasa) berdasarkan KUHAP dengan segala konsekuensi hukumnya pula.

Dari temuan Polisi diketahui pula Farhan melakukan perbuataannya itu secara serius, bahkan cara-cara kerjanya disebut menyerupai cara kerja Saracen, dengan 30 akun Face Book yang dibuat dan dikelola khusus untuk menyebarkan penghinaan dan pengancamannya terhadap Presiden Jokowi.

Jadi, antara kasus Roy dengan Farhan itu serupa tapi tidak sama, sehingga vonis hakim 1,5 tahun penjara untuk Farhan merupakan suatu hal yang wajar, sebaliknya, jika kemudian kasus Roy tidak diselesaikan di tingkat peradilan Anak, tetapi diselesaikan berdasarkan  Keadilan Restoratif dengan cara Diversi, dan misalnya,  Roy hanya dihukum kerja sosial, juga merupakan hal yang wajar, bukan diskriminatif.

Ingat, bahwa berdasarkan UU Peradilan Anak, hukuman penjara bagi Anak Pelaku Tindak Pidana (Anak yang berkonflik dengan hukum), hukuman penjara merupakan cara paling terakhir dipilih, dengan persyaratan tertentu pula.

Yang terpenting dalam kasus Roy itu adalah harus ada hukuman yang bersifat menjerakan baginya, supaya menjadi pembelajaran bagi dia, dan juga anak-anak lain sepantaran dia, agar jangan ada lagi yang berani melakukan perbuatan tak terpuji tersebut. *****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun