Mohon tunggu...
fadael
fadael Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar Sejarah

Sebab berbagi itu indah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Literasi sebagai Mentalitas dalam Bermedsos

18 Juni 2019   07:28 Diperbarui: 18 Juni 2019   07:32 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada era digital seperti sekarang ini, internet rupa-rupanya menampakan dirinya dalam dua wajah, satu malaikat sementara sisi lainnya bermuka iblis. Intenet dengan segala kemudahan dan kecepatan informasinya membuat setiap orang di belahan bumi manapun dapat mengetahui informasi yang sebetulnya juga jauh terletak di belahan bumi lainnya.

Namun, alih-alih menyebutnya  sebagai "malaikat", kebanyakan dari kita menstranformasikan internet justru dalam wujud iblis bernama media sosial dengan ragam kanalnya, seperti facebook, Whatssap, line dan sebagainya. 

Lagi-lagi, dengan kemudahan dan kecepatan informasinya, seringkali berbagai platform media sosial itu digunakan justru untuk mengumbar kebencian hate speech antar sesama dengan dasar politik, ras bahkan agama lalu meneruskan forward padahal belum jelas kadar kebenarannya.

Internetisasi dalam kehidupan manusia sejatinya memiliki dampak yang cukup seurius dalam cara kita memandang kebenaran. Sebelum dikepung oleh internet yang menawarkan segala kemudahan dan kecepatannya, informasi adalah hal yang mahal dan barangkali sulit untuk ditemukan. Namun berbeda dengan keadaan sekarang, informasi justru yang "datang" dan menghampiri manusia dengan deras-sesaknya.

Penemuan akan informasi menjadi sangat mudah dan instan.

Dari derasnya arus informasi yang gencar dan terus menerus, maka yang terjadi adalah kebingungan yang meluas. Informasi apapun yang "datang" sejatinya akan disambut: air keruh sekalipun akan laku dalam pasar yang kehausan dan kebingungan.

Akibatnya, manusia cenderung abai dalam memilih dan memilah informasi. Tidak penting apakah informasi itu hoaks, bertanggung jawab atau tidak; begitulah post truth era. Setiap dari kita hanya perlu percaya informasi tanpa perlu mencari kebenaran dari informasi yang kita percayai.

Bias konfirmasi 

Manusia adalah  mahluk echo chamber. Ia hidup dalam ruang gema, dalam artian kita hidup di "alam" prefensi masing-masing. Kita cenderung hanya mendengar apa yang kita percayai dan hanya percaya apa yang mau kita dengar, manusiawi.

Ketika kenyataan tidak berjalan sesuai dengan ekspetasi, maka kita cenderung mencari kambing hitam ketimbang mengoreksi diri sendiri. Inilah sejatinya yang terjadi dalam jagat media sosial dewasa ini. Setiap dari kita terlalu sering mencari kambing hitam atas pemahaman dan keyakinan informasi kita sendiri, tanpa mau melihat adanya alternatif informasi yang lain, ironis.

Terlebih platform media sosial, memiliki satu fitur untuk mempertajam echo chamber itu, yakni recommended pages. Di mana kita ditunjuk untuk mengikuti berita dan informasi yang sesuai dengan pandangan dan prefensi masing-masing. 

Akibatnya, kita semakin tenggelam dalam informasi yang justru mempersempit sudut pandang dan memperparah bias konfirmasi yang setiap orang idap.

Namun, persoalannya bukan terletak pada media sosial selaku objek yang mati dan kaku. Tetapi lebih kepada pengguna usernya yaitu manusia itu sendiri, masing-masing kita.

Bagaimana kita selaku user media sosial agar bisa arif dalam menggunakan media sosial sebagai objek yang mati? Bukankah smartphone (ponsel pintar) tidak harus lebih pintar dari penggunanya, kan?

Mental Literasi

Kegilaan dalam menyebarkan informasi tidak benar, termasuk informasi yang mengujar nada kebencian hate speech terhadap pihak manapun, serta turut dalam menyebarkannya --forward. Pada akhirnya akan merusak rasa kepercayaan sebagai social capital kita selaku manusia dalam kehidupannya.

Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah memberhentikan berita hoaks diponsel kita, dan memulai-numbuhkan mentalitas literasi.

Literasi tidak melulu menyoal buku, lebih jauhnya tentang teks. Dalam artian ini, literasi tidak lagi membaca dan menulis, terlebih untuk yang dicap akademisi. Ia adalah mentalitas, sikap rakus dalam memahami pengetahuan atau informasi secara menyeluruh dari beragam sudut pandang dengan proses yang didasarkan atas sikap kritis dan skeptis (ragu-ragu).

Ketika internet --khususnya media sosial, menjelma seperti pengeras suara bagi setiap kita; semakin banyak informasi yang suka membisik dengan nada tinggi dan volume melampaui kadar keharusan. Maka yang mesti kita lakukan bersama adalah mempertanyakan setiap titik informasi tersebut, apakah benar dan bertanggung jawab? Apakah tersedia informasi di luar yang kita miliki?

Dengan demikian, terbukalah kesempatan kita untuk melihat berbagai hubungan yang baru terhadap pemahaman kita atas informasi yang selama ini diketahui.

Kemungkinan untuk melihat berbagai hubungan dari informasi yang kita ketahui ternyata sangat terbuka lebar. Syaratnya, cukup kita membuka sudut pandang.

Termasuk dalam kasus media sosial; mencari alternatif informasi, menggodoknya dan jangan biarkan diri kita jatuh dalam arus informasi yang kita yakini sendiri kebenarannya, lantas mengkambing hitamkan informasi yang lain.

Mempersempit pemahaman atas informasi yang kita ketahui saja, sejatinya tidak membuka ruang untuk melihat berbagai kemungkinan dan hubungan-hubungan --yang barangkali dari hubungan itu menjadikan kita arif dalam berpikir, juga bertindak, celaka.

Dasar yang penting untuk membangun mentalitas literasi ini adalah kemampuan unlearning. Maksudnya proses kesinambungan untuk terus menggunakan banyak pertanyaan tentang yang kita tahu dan yang kita tidak tahu untuk menemukan hal-hal yang belum kita ketahui.

Terbaca cukup mudah, tapi masing-masing dari kita menolak untuk melakukannya. Ego kita tidak suka untuk kembali dipertanyakan, dicabik-cabik dan dibangun kembali.

Namun di sanalah tantangannya, salah satu alternatif agar fenomena media sosial ini tidak penuh-sesak akan informasi yang tidak benar. Apalagi informasi tersebut digunakan untuk mengujar kebencian terhadap salah satu dari kita, merusak modal sosial yang juga sudah lama kita bangun; rasa saling percaya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun