Mohon tunggu...
Deddy Daryan
Deddy Daryan Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

HIdup ini singkat, wariskan yang terbaik demi anak-cucu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebutir Mutiara (9)

27 Mei 2017   10:15 Diperbarui: 27 Mei 2017   10:38 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

9.Pertaruhan Nasib

Setiap hari dari pagi hingga petang Pak Bahri berkeliling masuk dan keluar komplek perumahan, masuk gang keluar gang dengan sebuah gerobak dorongnya. Kedua lengan gerobak itu ia tarik dengan kedua tangannya. Jika sudah merasa lelah, Pak Bahri selalu mendorong gerobaknya dengan langkah yang tertatih-tatih. Sesekali ia menyeka keringat di dahinya, karena panasnya sinar matahari.

Ada terompet pencet yang terbuat dari balon berwarna-biru, yang  diselipkan di tangan kirinya. Setiap dua-tiga langkah ia pencet terompet itu.

Peeett………….peeett….peeett…….peeett….. . Itu artinya : “Oiii!!! …. ada Pak Bahri lewat, mencari barang bekas apa saja asal bisa laku dijual.” Uangnya buat beli beras dan lauk pauk untuk disantap di rumah bersama anak-anak dan istrinya.

Sesungguhnya usaha Pak Bahri ini adalah usaha untung-untungan. Usaha yang tidak pasti. Usaha pertaruhan nasib. Kadang Pak Bahri memperoleh keuntungan dari usaha ini, tapi seringkali tidak memuaskan. Tapi mau usaha apa lagi, pikir Pak Bahri, ketika memutuskan untuk memilih jadi tukang rongsokan.

Dulu, sekitar lima tahun yang lalu, Pak Bahri  pindah ke kota, dengan  harapan kondisi kehidupannya akan lebih baik. Ia menjual semua hak miliknya di desa berupa sepetak tanah, dan rumahnya yang sederhana.

Sesampai di kota, untungnya Pak Bahri terlebih dahulu membeli sebuah rumah semi permanen di sebuah gang yang kini jadi alamatnya. Sisa uangnya ia gunakan untuk membuka warung klontongan, yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Karena pengelolaannya kurang baik, akhirnya hanya dalam waktu kurang dua tahun, warungnya tutup. Setelah itu cukup lama Pak Bahri menganggur.

Singkat cerita, karena kondisi ekonomi Pak Bahri semakin melemah,  kakak Dian, Toni Parjito terpaksa ikut Pak Le’ nya di kota lain. Saat libur saja Parjito pulang berkumpul dengan kedua adiknya atau libur panjang kenaikan kelas.

Sementara itu, istri Pak Bahri, ibu dari tiga anak ini sering sakit-sakitan, tak bisa lagi membantu suaminya seperti dulu, sekedar menambah penghasilan menjadi tukang cuci. Kini mereka hidup di perkotaan dengan beban hidup yang makin berat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun