Mohon tunggu...
bit sesawi
bit sesawi Mohon Tunggu... -

Bit Sesawi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seri 04 Gedung tanpa Dinding: Ruang Belajar

21 Juli 2016   08:06 Diperbarui: 10 Maret 2017   18:02 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia tidak akan mengerti bagaimana komunikasi kami jalin di antara gedung - gedung ini. Tanpa suara. Lewat angin yang menerpa dinding kami. Kami saling menyapa. Memberi kabar mengenai manusia di dalam naungan kami.

Cerita Si Mall mengenai sesak perutnya di akhir pekan, tak kuasa menahan laju kedatangan manusia merasukinya. Cerita Si Ruko lama mengenai kekuatirannya menjadi gedung tanpa guna. Berganti - ganti pemilik tanpa pernah ada aktivitas ekonomi di sana. Hanya investasi. Atau optimisme Si Ruko baru dimana pemiliknya sudah menginvestasikan seluruh tabungannya demi memulai hidup sebagai intrepreneur, keluar dari kemapanan karyawan gajian.

Atau mengenai kebanggaan Si Sekolah Internasional. Wajar dia berbangga. Lahir dari pertimbangan potensi ekonomi kawasan pemukiman yang sedang berkembang di sini. Artinya banyak golongan ekonomi atas yang memerlukan sekolah terbaik untuk anak - anak mereka. Dan mereka bersedia dan mampu mencukupi skema pembiayaan yang cukup tinggi. Wajar angkanya cukup fantastis untuk sebagian besar masyarakat negara ini. Fasilitas yang ditawarkan juga fantastis. Full day English adalah suatu kepastian. Tenaga pengajar diutamakan native speaker. Sertifikasi internasional bagi tenaga pengajar adalah kewajiban sebagai bukti valid kemampuan mengajar. Kurikulum disusun dengan standard internasional sehingga memudahkan peserta didik jika ingin melanjutkan studi ke luar negeri. Bahkan kurikulum ini dijadikan acuan untuk banyak sekolah untuk suatu standard sekolah ideal. Anak Dirut A, anak pemilik grup usaha B, atau anak pejabat teras negeri ini adalah teman sekolah yang menambah kebanggaan di sini.

Kami, gedung - gedung yang lain, selalu terkagum - kagum mendengar cerita Si Sekolah Internasional ini. Tapi, ada satu ceritanya yang selalu membuat kami penasaran. Ceritanya mengenai seorang anak taman kanak - kanak yang menjadi anomali di situ. Saat temannya memulai dengan penjumlahan sederhana di bawah angka sepuluh, dia tidak bisa menahan diri untuk segera tahu ada apa setelah bilangan sepuluh. Sampai batas mana bilangan itu dijumlahkan? 

Ratusan, ribuan, jutaan, milyaran, trilyunan, lalu apalagi namanya? Saat teman sekelasnya mengeja huruf konsonan yang satu dengan huruf vokal, atau mengulang menulis huruf 'a' sebanyak satu halaman, atau deretan suku kata seperti 'sa si su se so' selama beberapa sesi pelajaran, susunan huruf itu begitu menggelitik jiwanya untuk segera tahu apa yang hendak disampaikan oleh deretan huruf itu. Satu kata. Satu kalimat. Sebuah cerita. Namun di situ lah tantangannya: saat letupan si anak itu tidak mendapatkan tempat di kelas. Kurikulum yang sudah disusun seharusnya sudah cukup baik untuk diikuti oleh semua anak (dan guru). Standarisasi proses setidaknya menjamin outputnya (demikian kredonya).

Walaupun pelajaran melukis bukan favoritnya, tapi menggambar bebas adalah waktu yang dinikmatinya. Monster dan alien adalah gambar favoritnya.

Yang anak ini tahu bahwa dalam menggambar monster atau alien tidak ada konsep benar dan salah. Warna kulit tidak harus coklat. Bola mata tidak harus hitam. Bahkan jumlah mata boleh cuma satu (kalau sedang tidak mood) atau boleh sampai berderet - deret (kalau sedang bersemangat). Kaki boleh digantikan roda atau apa saja karena ini monster tidak ada batasannya kecuali imajinasi.

"Pengaruh bermain game!" suatu analisa terkini untuk menghakimi efek ini. Jadi anak ini harus kehilangan satu lagi kegembiraannya karena di rumah,jam gembira bermain game di layar tabletnya harus dikurangi sampai batas minimal.

Kemarin dia dihukum karena berjalan - jalan di kelas. Sepuluh soal hitungan itu dikerjakan kurang dari semenit. Tak tahan duduk diam menunggu teman lain menyelesaikan, dia berjalan ke meja teman - teman yang lain dengan maksud membantu mengerjakan (tentu saja justru menambah ruwet suasana)

Seharusnya hukuman untuk berjalan - jalan di kelas adalah berdiri di depan kelas. Tapi pernah ketika dihukum berdiri di depan, anak ini justru menyanyi riang.

"Habis aku ngga tahu mau ngapain di sini, jadi aku nyanyi aja"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun