Mohon tunggu...
Beni Guntarman
Beni Guntarman Mohon Tunggu... Swasta -

Sekedar belajar membuka mata, hati, dan pikiran tentang apa yang terjadi di sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haiku, Sebuah Potensi dan Tantangan

9 Agustus 2016   12:18 Diperbarui: 9 Agustus 2016   12:40 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Dokumen Pribadi.

Berupaya mengenali haiku, berawal dari mencoba menuangkan gagasan puitik kedalam pola 5-7-5 suku kata, saya sering bertanya-tanya  pada diri sendiri: “ apakah mungkin mentranformasikan pesan sebuah puisi hanya dengan 17 suku kata?” Masih banyak lagi sederet pertanyaan yang muncul di benak saat baru mengenal haiku.

Sederet pertanyaan yang ada di benak tentang haiku secara perlahan terkuak bahwa belajar haiku itu harus dimulai dengan sikap berani mencoba. Terus dan terus mencoba menuangkan gagasan puitik ke dalam pola 5-7-5, dan menggali pengertian tentang kigo dan kireji lewat filosofi dan histori dari perkembangan haiku itu sendiri.  Apa yang ditemukan lewat proses pembelajaran secara otodidak itu dapat saya simpulkan bahwa haiku adalah sebuah genre puisi yang sarat dengan pesan-pesan yang bersifat universal.

Formulasi awalnya berkembang di Jepang, namun ia bukanlah sebuah seni sastra yang tidak bisa dikembangkan ke dalam bahasa lain selain bahasa Jepang.  Siapa yang tidak kenal apa itu yang dinamakan musim, siapa yang tidak kenal bulan atau bintang, siapa yang tidak kenal dengan katak atau flora dan fauna atau yang lainnya yang biasa menjadi objek atau simbol-simbol musim dan rasa yang biasa digunakan dalam ayat-ayat haiku (klasik) Jepang yang terkenal indah dan sarat dengan makna? Jadi persoalannya bukan lagi pada 17 suku kata, melainkan pada “apakah filosofi , pengertian kigo dan kireji, teknik, serta estetikanya telah diketahui?”

Haiku bukanlah sesuatu yang sakral yang membuat kita harus menjadi pengikut Zen Buddhisme terlebih dahulu untuk bisa menulis dan memahaminya.   Haiku juga tidak membuat kita harus kejepang-jepangan terlebih dahulu agar bisa memahaminya.  Pemahaman atas sifat-sifat alam dan alamiah dalam irama musim, kekuatannya dalam mempengaruhi pola-pola peradaban dan kebuadayaan manusia; Serta bagaimana kita bersikap dalam menghargai keindahan alami, kejujuran, dan ketulusan alam dalam berinteraksi dengannya; Serta kemampuan seorang penyair dalam mengolahnya sehingga menjadi sebuah seni berpuisi dalam bahasa yang ringkas melalui symbol atau ungkapan  yang sarat dengan makna dan renungan adalah ruh sesungguhnya yang menghidupkan sebuah haiku.

Puisi dalam genre apa pun umumnya mengedepankan rasa, dan demikian juga dengan haiku. Genre puisi “Haiku” punya cara, teknik, filosofi, dan aturan main tersendiri  yang telah teruji selama berabad-abad waktu dalam hal mengedepankan rasa.  Jadi esensi haiku yang kita sebut sebagai pola 5-7-5, Kigo, dan Kireji pada intinya adalah trik-trik untuk membangkitkan rasa ke benak pembaca lewat  sebuah ayat haiku. Bukanlah sebuah aturan yang bertujuan ingin mempersulit penulisan haiku atau agar disebut sebagai “puisi khusus”.  Seyogyanya Kigo dan Kireji tidak dipandang sebagai beban dalam menulis haiku.

Idealnya sebuah haiku itu ditulis sekali jadi (spontan), mudah diingat dengan sekali baca, dan sarat dengan makna dan renungan.  Basho ada berkata: “ haiku itu harus diucapkan berulang-ulang hingga ketemu dengan rasa dan keindahannya sebelum ditulis.” Artinya, bagaimana sebuah moment haiku itu berproses di dalam diri si penulis haiku adalah fase yang paling menentukan apakah proses penciptaan itu akan melahirkan sebuah karya yang bermutu. 

Motivasi menulis bisa jadi berbeda, namun sangat sering para ahli haiku mengingatkan bahwa ketika memproses haiku di dalam diri harus dibuang jauh-jauh apa yang dinamakan “penyakit hati”.  Sifat sombong, iri, dengki, hasud, dan lain-lain harus dibuang jauh-jauh agar memudahkan penulis menyalurkan energi positifnya melalui serangkaian kata puitis yang kita namakan sebagai “Haiku”!

Karena itu betapa pentingnya untuk terus menerus memperluas wawasan tentang haiku sebagai informasi dan pengetahuan agar pemahaman tentang haiku tidak terjebak dalam persoalan “mungkin atau tidak mungkin, susah dan tidak susah” atau persoalan keragu-raguan lainnya. 

Dalam antologi 1000 Haiku Indonesia Musim Ke-2, menurut hemat saya sudah banyak ayat-ayat haiku yang ditulis dengan benar, bernas, dan membuat saya tidak ragu-ragu bahwa haiku dalam Bahasa Indonesia juga hal yang perlu dikagumi. Perlahan tapi pasti puisi genre Haiku akan memperkaya khasanah sastra di Indonesia. Mungkin akan menemukan ruhnya sendiri berdasarkan alam pikir Indonesia yang cenderung religius.

*******


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun