Mohon tunggu...
Bens
Bens Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Musafir Malam

Kata Hati Mata Hati ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Cakrawala Senja

20 Oktober 2019   15:16 Diperbarui: 21 Oktober 2019   18:32 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jufi berdiam sejenak, surut langkahnya menjejak lumpur di hadapannya.

Terlintas ingatannya, 7 tahun lampau, tanah yang penuh ilalang dan tetap subur meski kemarau panjang, desa terpencil disudut Kalimantan Selatan.

Abu, Diham, Amad, Utuh dan Sopi, sahabat karibnya kerap bermain memetik bunga rumput liar, dikumpulkan dijadikan hiasan rumah-rumahan.

Abu sesekali memanjat pohon mangga, yang ranum lebat buahnya, berlomba bersama Amad, sementara Utuh asyik mengumpulkan ranting-ranting kering membuat sebuah rumah-rumahan yang kokoh.

"Aihh... Cantiknya bunga-bunga ini, nanti kuhias di di dinding rumah kita," kata Sopi berseri.
"Nanti kucari papan yang kokoh, jadi tak lekas lapuk rumah ini," Diham menimpali.

Jupi tersenyum sembari memukul-mukul paku bengkok karatan, yang dia kumpulkan di setiap rumah warga.
Mereka terkenal akrab dari kecil, sebangku di sekolah dasar. Sopi meski perempuan sendiri, tak canggung bersama mereka.

Matahari sepenggalah, mereka terus sibuk membangun rumah-rumahan itu. Terdengar suara yang tak asing, menganggetkan mereka.

"Woii Utuh.... Ajaklah makan dahulu, sudah siang," emak Utuh berteriak sambil berlalu membawa ranting kering.
"Iya Mak.. " jawab Utuh, bergegas pulang, diikutin yang lain

Bau sedap masakan menggoda perut mereka. Sayur bayam, ikan asin, tempe goreng.
Lahap mereka menikmati masakan Emak Utuh, yang dikenal enak.

"Makanlah yang enak, tambah nasinya, habiskan saja nanti Emak masak lagi," katanya
"Ya Mak, aku hendak nambah," jawab Diham
"Aku juga," sahut Abu
"Woi ingat aku lah, jangan dihabiskan," protes Supi.
Benar, ludes nasi di periuk, mereka berebut sayur bayam dan ikan asin.

Saat sore menjelang, mereka duduk berkumpul, mandang tiang-tiang rumah
"Rumah ini akan tetap jadi rumah kita. Duduk rebahan, masak," kata Abu
"Ya, kita tetap bersahabat, sampai kapanpun, dan disini kita berkumpul," sahut Diham
Mereka hanyut dalam lamunan mereka, lalu bergegas pulang di temaram cakrawala jingga

Jufi terhenyak, sebuah tepukan menghentak lamunannya.
"Utuh!" Jerit Jupi
Mereka berpelukan, melepaskan kerinduan

"Kenapa tak kabari aku?" tanya Utuh
"Aku mendadak pulang. Emakku sakit." jawab Jupi, " Abu dan yang lain ke mana?"
"Abu tinggal di kota, kerja di pabrik. Diham berlayar, ikut pamannya kirim kayu ke Jawa. Amad pun kerja ikut sepupunya di kota. Sopi sudah lama pindah entah ke mana, tak ada berita. Hanya aku yang tersisa," Utuh menunduk.

"Ini bukan desa kita lagi, entah apa. Sejak orangtua kita menjualnya untuk dijadikan tambang batu bara, semua hancur, menjadi seperti ini, kolam besar tak bertuan. Dan rumah kitapun lenyap, seperti yang lain tak ada berita," Jupi tertunduk dalam, tak terasa air matanya menetes.

Dia pulang dari Jawa menyandang gelar Sarjana Ekonomi, dengan riang dia mengayun langkahnya menaiki kapal, dan tak sabar cepat sampai rumah, bercerita bercengkerama juga berharap sahabat-sabahatnya akan mendukung rencananya membuat usaha.

Jupi menjerit, berteriak pada langit, mengepalkan tinjunya pada matahari.
Utuh duduk terdiam, hanyut kepiluan bersama, memandang tanah gersang penuh lubang kolam raksasa menganga, digali dengan kerakusan tauke batubara, yang ditinggal begitu saja setelah habis batubaranya.

Senja menggelayut, menyisakan rona matahari mengantarkan rembulan, seperti impian mereka yang menjadi temaram.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun