Mohon tunggu...
Asep Wijaya
Asep Wijaya Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengajar bahasa

Penikmat buku, film, dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Winchester", Cerita Arwah Penasaran Penghuni Rumah Paling Berhantu di Amerika

20 Maret 2018   12:46 Diperbarui: 20 Maret 2018   17:48 4423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita horor yang melekat kuat di benak masyarakat rupanya masih menarik bagi sebagian pengarah film untuk menyajikannya dalam sebuah produk sinematik. Setidaknya, kisah itu bisa mengurangi beban pekerjaan, terutama yang berkaitan dengan ide cerita.

Tinggal kemudian si sutradara menyiapkan aneka bumbu penyedapnya. Bagi kita penikmat film horor, tentu berharap adanya sajian yang bisa bikin adrenalin melompat-lompat.

Tidak melulu obral jump scares. Tetapi pengarah film bisa menawarkan aneka efek suara, sorot kamera, dan sejumlah elemen yang sudah kita kenal di dunia nyata dan mampu menciptakan suasana horor.

Misalnya, tata lampu yang temaram, senandung lagu yang bikin bergidik, atau bunyi-bunyian yang sering kita dengar dan punya asosiasi dengan mitos yang berseliweran di ruang publik.

Tentu itu saja tidak cukup. Alur cerita harus berakhir tuntas. Dalam pengertian aneka permasalahan yang jadi bagian dari konflik cerita kudu selesai. Kalaupun berakhir menggantung, itu hanya jadi pengantar untuk kelanjutan film.

Beberapa aspek itulah yang mungkin jadi pertimbangan si kembar Michael dan Peter Spierig saat menggarap Winchester (2018).

Mereka sudah punya modal dasar penggarapan film berupa urban legend mengenai Winchester Mystery House. Alas cerita pun sudah siap. Tinggal keduanya menciptakan aneka konflik dan menyusunnya secara tepat.

Latar waktu 1906 kemudian dipilih. Sebuah rumah megah di daerah San Jose, California, Amerika Serikat jadi latar tempatnya. Satu peristiwa mistis kemudian dipotret kala seorang anak bertingkah aneh di sepanjang koridor rumah dengan tata lampu yang temaram.

Sorot kamera yang mengikuti gerak bocah disertai dengan iringan suara yang mendadak melengking sudah cukup bikin kita bergidik dan kesan pertama pun berhasil bikin ngeri.

Cerita berlanjut dan kita kemudian berkenalan dengan serorang wanita, pemilik rumah megah itu, yang sebenarnya lebih mirip sebuah puri, bernama Sarah Winchester (Helen Mirren). Busananya yang serba gelap mengingatkan kita pada sosok hantu wanita dalam The Woman in Black (2012).

Penampilannya yang aneh itu rupanya ekuivalen dengan kelakuannya. Sebagai pemilik setengah kekayaan perusahaan ternama, ia pekerjakan ratusan orang untuk membangun sebuah rumah megah tanpa henti, 24 jam sehari, tujuh hari sepekan dan seterusnya.

Interior bangunannya pun tidak lazim. Ada tangga yang tak mengarah ke manapun, karena ujungnya mentok ke langit-langit. Ada sebuah ruangan berdinding kayu tanpa paku sedikitpun. Dan sangat banyak koridor yang lebih mirip sebuah labirin, karena mereka yang menyusurinya tanpa peta bakal tersesat.

Dan ini yang lebih aneh: ada sekitar 100 kamar tersedia namun penghuninya hanya tiga orang saja: Sarah, keponakannya Marion Marriott (Sarah Snook) yang punya anak laki-laki bernama Henry (Finn Scicluna-O'Prey).

Lalu untuk apa kamar yang banyak itu? Sarah mengaku aneka kamar itu untuk jadi tempat tinggal para arwah gentayangan korban tembak senapan yang diproduksi perusahaannya, perusahaan mendiang suaminya.

Ya, suaminya, pemilik perusahaan Winchster Repeating Arms Company, telah meninggal, secara mendadak. Adapun anak perempuannya juga wafat saat masih seusia bayi. Sarah yakin dirinya kena kutuk para korban kena tembak itu.

Entah atas saran seorang cenayang atau improvisasinya sendiri, Sarah, lewat jasa tukang, membangun kamar-kamar itu. Tapi yang pasti, kelakuannya itu mengundang kecurigaan direksi perusahaan ihwal kesehatan jiwanya.

Sarah dituduh tidak mampu mengelola perusahaan karena gangguan kejiwaan yang dideritanya akibat tidak bisa menerima kenyataan ihwal kematian suami dan anaknya. Jadilah seorang psikiater diterjunkan oleh direksi perusahaan untuk memeriksa Sarah.

Uniknya, si dokter ini, Eric Price (Jason Clarke), meskipun punya catatan pemeriksaan yang gemilang, sering berhalusinasi. Itu terjadi saat ia mengonsumsi minuman beralkohol racikannya.

Halusinasi yang mengantarkannya mengalami serangkaian peristiwa mistis di kediaman Sarah. Halusinasi yang juga mengantarkannya menyelesaikan masa lalunya dengan mendiang istrinya.

Ya, dr. Eric ternyata juga punya pengalaman buruk dengan senjata Winchester yang merenggut nyawa istrinya. Pengalaman yang kemudian membuatnya paham tentang apa yang sedang dialami oleh Sarah.

Rupanya desain rumah yang seringkali dibuat oleh Sarah untuk petugas bangunan berasal dari arwah penasaran itu. Sarah mengalami kerusupan dulu saat menggambarkan denah eksterior dan interior rumahnya.

Ternyata desain ratusan kamar yang dihuni para arwah gentayangan adalah kamar yang punya nuansa yang sama dengan tempat yang mereka tinggali dulu semasa hidup. Termasuk milik arwah Benjamin Block (Eamon Farren), musuh utama film.

Ya, pengujung cerita memang tentang pertarungan Sarah dan Eric kontra arwah Benjamin. Juga tentang sosok wanita yang seringkali muncul dalam halusinasi Eric.

Meski begitu, film ini seperti tidak punya ujung. Kekalahan arwah Benjamin tidak lantas menghilangkan para arwah gentayangan lain. Mereka yang "nakal" masih menghuni kamar yang pintunya tertutup rapat oleh balok dengan tancapan 13 paku.

Ketidaktuntasan cerita ini meruapkan kesan seolah film ini hanya menjadikan kisah horor sebagai upaya menyebar propaganda untuk usaha mengurangi pembelian senapan api yang banyak disalahgunakan untuk membunuh mereka yang tak berdosa.

Tetapi bila ditapaktilasi jejak sejarah rumah Winchester itu, memang ternyata Sarah mengaku demikian, didatangi para arwah korban kena tembak senapan hasil produksi perusahaannya.

Sayang kita tidak menemukan kejutan di akhir cerita seperti kita mendapatkannya dalam karya lain dari sutradara kembar Michael dan Peter Spierig dalam Predestination (2014).

Kita juga tidak menemukan kejutan yang hebat dan unik dari elemen jump scares yang tersaji kecuali penampakan arwah yang sepertinya lebih mirip zombie dan bunyi lonceng setiap pukul 12 malam.

Meski begitu, kita tidak serta merta merasa sia-sia menyaksikan film ini. Setidaknya kita jadi tahu sepotong kisah hidup mendiang Sarah Winchester, pemilih rumah paling berhantu di California.

Sekaligus jadi penasaran untuk ikut tur Winchester Mystery House yang sesungguhnya, hehe.

-----

Winchester (2018) 

Sutradara:Michael Spierig, Peter Spierig; Penulis Skenario: Tom Vaughan, Michael Spierig, Peter Spierig; Produser:Tim McGahan, Brett Tomberlin; Genre:Horor, Biografi; Kode Rating:+17; Durasi:99 Menit; Perusahaan Produksi: Blacklab Entertainment, Imagination Design Works; Bujet Film:US$ 3,5 Juta

Pemeran:Sarah Winchester (Helen Mirren), Marion Marriott (Sarah Snook), dr. Eric Price (Jason Clarke), John Hansen (Angus Sampson), Henry (Finn Scicluna-O'Prey), Benjamin Block (Eamon Farren), Ruby (Laura Brent)

sumber data film: IMDB

film ini terinspirasi dari kejadian nyata tentang kehidupan Sarah Winchester (1840-1922), terutama, saat ia membangun kediamannya tanpa henti, 7 hari/24 jam, selama 38 tahun. Sebuah kediaman yang lebih mirip puri, dengan 100 kamar di dalamnya, di San Jose, California

sumber gambar: screenrant.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun