Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lotek, Kuliner Khas Salatiga yang Bertahan di Segala Jaman

23 Januari 2017   15:43 Diperbarui: 23 Januari 2017   16:02 4504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lotek yang sudah ada sejak jaman Belanda (foto: dok pri)

Lotek, makanan  tradisional yang banyak ditemukan di Kota Salatiga, ternyata tak pernah surut pamornya. Kuliner yang didominasi sayuran ini, mampu bertahan di segala jaman dan tidak tergerus oleh keberadaan berbagai kuliner cepat saji yang terus merangsek ke segala lini.

Ya, lotek merupakan perpaduan sayuran bayam, kol, kacang panjang,sedikit kecambah, irisan ketimun, irisan tahu/ bakwan, mi goreng, lontong dan selanjutnya dicampur sambel kacang. Saat akan disajikan, biasanya ada kerupuk di atasnya. Sepintas, makanan ini mirip pecel, namun perbedaannya terletak pada sambal kacangnya. Bila lotek sambal kacangnya dibuat ketika ada pembeli. Sedang pecel, sambalnya sudah disiapkan alias telah dibuat lebih dulu.

Tidak diketahui persis mulai kapan lotek ada di Salatiga, yang pasti, menurut bu Kusrini (80) warga Jetis Barat, sejak pemerintahan kolonial Belanda kuliner itu sudah ada. Yang membedakan, jaman dirinya kecil, lotek hanya bisa ditemukan di pasar- pasar tradisional. “ Penjualnya menempati lapak ukuran 1 X 1,5 meter. Langganan saya dulu di pasar Berdikari,” ungkapnya.

Ini sebagian bahan bakunya (foto: dok pri)
Ini sebagian bahan bakunya (foto: dok pri)
Dalam perkembangannya, penjual lotek sudah jarang ditemui di pasar- pasar. Mereka lebih suka membuka warung di rumahnya masing- masing karena tanpa dipromosikan konsumen akan mendatanginya. Dalam catatan, di Salatiga sendiri sedikitnya terdapat 50 an warung lotek yang tersebar di seluruh penjuru kota. Kendati begitu, hanya berkisar 10 an yang selalu ramai dipadati pembeli.

Untuk menikmati kuliner sehat ini, kita hanya cukup merogoh kantong sebesar Rp 8.000- Rp 10.000 seporsi. Sensasi yang didapat, biasanya selain faktor kelezatannya, juga rasa pedas yang timbul akibat kolaborasi sambal kacang dan cabe segar. Lucunya, di tengah melonjaknya harga cabe, para pedagang tak mau mendongkrak harga yang telah dipatok. “ Padahal, kadang ada konsumen yang meminta cabe hingga 10 biji,” kata Bekti (50) pedagang lotek di jalan Merbabu.

Dapur sekaligus warung lotek di jalan monginsidi (foto: dok pri)
Dapur sekaligus warung lotek di jalan monginsidi (foto: dok pri)
Pedagang Lotek Lagendaris

Dari puluhan warung lotek yang ada di Salatiga, berdasarkan penelusuran, tidak ada satu pun yang menempati kios yang representatif. Mayoritas, warungnya hanya semi permanen. Meski begitu, belum pernah terdengar ada pedagang lotek mengalami kebangkrutan. Dengan kata lain usaha kuliner ini merupakan suatu bisnis yang kebal krisis.

Tidak lengkap rasanya bila mengulas lotek tanpa menyebut almarhumah Mak Nin, seorang penjual lotek lagendaris yang membuka usahanya di jalan Brigjen Sudiarto gang I sejak jaman dirinya masih muda. Warungnya yang sederhana dan terletak di gang sempit, jadi langganan para pejabat di Kota Salatiga. Praktis, dari mulai Walikota hingga anak buahnya pernah menikmati lotek produk Mak Nin.

Lotek produk Bekti di jalan Merbabu (foto: dok pri)
Lotek produk Bekti di jalan Merbabu (foto: dok pri)
Seperti pedagang lotek lainnya, Mak Nin juga menggunakan cobek ukuran besar. Yang istimewa, janda tersebut sangat komunikatif saat melayani pembeli. Dengan gayanya yang khas, yakni menginang (makan sirih) hingga susur (tembakau) menyumpal mulutnya, ia membuat lotek pesanan sembari bercerita ngalor ngidul. Dirinya selalu nyambung diajak ngobrol tentang apa pun, padahal tak mengenyam bangku pendidikan.

Warung mak Nin yang buka mulai Pk 09.00- 15.00, biasanya selalu ramai oleh pembeli. Mulai pejabat hingga rakyat jelata, harus mengikuti antrean. Siapa yang datang lebih dulu, maka bakal menerima gilirannya. Yang belakangan nunggu giliran kalau mau bersabar.  Aturan tersebut berlaku secara permanen, mirip konstitusi di warungnya yang tidak bisa diganggu gugat siapa pun. Keren !

Warung Lotek bu Mishi yang sederhana bentuknya (foto: dok pri)
Warung Lotek bu Mishi yang sederhana bentuknya (foto: dok pri)
Sayang, setelah Mak Nin meninggal, tidak ada generasi penerusnya. Padahal, “merk” dagang  Mak Nin sudah menjadi jaminan bakal laku. Kabarnya, kerabatnya semua sudah hidup mapan, sehingga tak tertarik melanggengkan usaha lotek yang melagenda tersebut. Malah, orang- orang lain yang menekuni bisnis serupa lebih berkibar warungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun