Mohon tunggu...
Ayyu Sandhi
Ayyu Sandhi Mohon Tunggu... -

People may forget who you are, but they will not forget what you've done.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Satria Manah dan Semen Rante: Belajar Falsafah Cinta dari Batik Surakarta

19 April 2014   07:03 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:29 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_303957" align="aligncenter" width="300" caption="Museum Batik Danar Hadi"][/caption]

“...Nah, mari kita lihat kedua jenis batik ini. Batik-batik ini adalah yang dikenakan sepasang kekasih ketika prosesi lamaran. Sang pria mengenakan batik dengan motif satria manah, atau ksatria yang sedang mengarahkan panahnya, sebagai perlambang bahwa ia tengah ‘memanah’ hati sang kekasih. Kemudian sang wanita mengenakan batik dengan motif semen rante. Rante atau rantai dalam bahasa Indonesia, sebagai perlambang bahwa sejak dipinang hingga selamanya, hati wanita tersebut sudah terikat untuk pria yang akan menikahinya, dan tertutup sudah kesempatan bagi pria lain. Semen diambil dari kata semai, sebagai perlambang agar cinta di antara mereka berdua selalu bersemi. Bisa dilihat pula di kain batik semen rante ini, terdapat motif gunung. Gunung adalah tempat berseminya segala jenis tumbuh-tumbuhan. Maka motif gunung di kain batik ini dapat juga diartikan sebagai perlambang bahwa sang wanita yang dipinang harus siap menjadi tempat persemaian bagi laki-laki...”

Entah kenapa saya dan Angga jadi tersipu-sipu menyimak penjelasan mas-mas tour-guide kami di Museum Batik Kuno Danar Hadi siang itu. Pipi saya juga menghangat, meskipun AC di ruangan tersebut menghembuskan angin sejuk. Kami tidak menyangka bahwa kunjungan kami ke museum ini akan membuat kami teringat kembali akan komitmen untuk menjaga cinta. Hahaha.

Di tengah kejenuhan akan deadline dan rutinitas sehari-hari, saya dan Angga memutuskan untuk rehat sejenak, jalan-jalan ke luar kota tapi tetap dalam jarak yang terjangkau oleh waktu dan biaya. Maka terpilihlah Solo sebagai tujuan wisata kali ini. Solo sebagai “saudara keraton”nya Yogyakarta, menawarkan eksotisme dan kearifan yang nyaris sama. Memasuki jalan Slamet Riyadi, kami disambut oleh rindangnya pepohonan di kanan kiri jalan yang menimbulkan perasaan tenteram. Kebetulan Angga juga sedang berburu sparepart sepeda, maka begitu tiba di Solo kami langsung njujug toko sepeda Rukun Makmur yang terletak di jalan tersebut. Angga masuk ke dalam, sementara saya duduk di kursi antik yang terletak di trotoar, di bawah naungan pohon rindang. Beberapa pengendara sepeda lalu lalang di jalur yang disediakan.

Museum Batik Kuno Danar Hadi adalah obyek wisata terakhir setelah sebelumnya kami memuaskan diri di sekitar Keraton dan Pura Mangkunegara. Tiket masuknya adalah sebesar Rp. 25.000,- (untuk pelajar sebesar Rp. 15.000,-). Awalnya saya berpikir bahwa jumlah ini cukup mahal. Saya tidak menyangka bahwa ternyata, dengan dua puluh lima ribu rupiah itu, kita bisa melihat-lihat lima ratus lembar koleksi batik dengan didampingi guide yang menjelaskan dengan komplit mulai dari sejarah koleksi batik yang ada di sana, makna setiap motif batik, proses pembuatan batik, dan bahkan kami dipersilakan untuk melihat langsung proses pengerjaan batik mulai dari bikin pola hingga pengeringan.  Pengunjung juga bebas mengajukan pertanyaan yang relevan, karena sang pemandu dijamin punya pengetahuan yang dalam tentang batik. Meskipun jumlah batik yang ditampilkan ‘hanya’ lima ratus lembar, tetapi jumlah koleksi batik museum tersebut secara keseluruhan mencapai sebelas ribu lembar! Dan mereka ‘dirolling’ secara berkala. Otomatis sang pemandu harus menguasai riwayat kesebelas ribu kain batik itu. So, he knows his job very well.

[caption id="attachment_303958" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu tahap pembuatan batik di Museum Batik Danar Hadi"]

13979899111351198728
13979899111351198728
[/caption]

Di sana, kita tidak hanya melihat-lihat batik yang dibuat oleh orang Indonesia, tapi juga oleh noni-noni Belanda dan orang Cina pada zaman dulu. Tentu saja orang Belanda dalam membatik lebih memilih menggunakan dominasi warna cerah (bukan kecokelatan sebagai ciri khas batik pengaruh keraton) dan budaya Eropa; diantaranya memasukkan tokoh dongeng-dongeng Eropa. Jadi jangan heran melihat batik Snow White, dengan muka Puteri Salju dan Ratu yang agak-agak Jawa gimana gitu. Hihihi. Terus juga ada batik yang mengisahkan tentang Perang Diponegoro....tapi yang digambar cuma tentara VOC-nya. Ya iyalah. Sedangkan orang Cina lebih kental dalam memasukkan unsur budaya mereka dalam batik yang mereka buat, seperti misalnya menggambar burung Phoenix yang hanya ada dalam mitologi Cina. Dan ciri khas batik yang dibuat oleh orang Cina adalah motif yang relatif lebih rumit dan teliti.

Sementara Angga mengagumi batik dengan motif tambal pamiluto, yang hanya dipakai oleh laki-laki untuk menyatakan cinta pada gadis yang disukainya (jadi para gadis zaman dahulu tidak usah tanya “eh sebenernya kamu sayang sama aku nggak sih?” melainkan cukup lihat bajunya; kalau dia pakai batik motif tambal pamiluto berarti beneran cinta tuh), saya melotot mengagumi salah satu batik yang diwarna dengan serbuk emas, dimana serbuk emas itu ditempelkan ke kain batik menggunakan putih telur. Saya pelototi tiap sudut motifnya, dan hasil karya tersebut beneran rapi! Salut untuk para pengrajin batik. Kalau saya yang disuruh bikin prakarya seperti itu mungkin sudah mutung di awal. Hahaha.

Nah, yang harus digarisbawahi, bagi para pengrajin batik, sebuah kain bisa disebut ‘batik’ hanya bila motif yang tergambar di sana dilukis menggunakan canting. Bagaimana dengan batik cap? “Batik cap itu bukan batik. Itu adalah tekstil yang bermotif batik,” tegas pemandu kami. Ia kemudian menunjukkan potret seluruh karyawan batik Danar Hadi yang berpose bersama di depan gedung museum. “Tiga ratus lima puluh orang pembatik di sini, dan tidak ada yang muda,” terdapat kegetiran dalam suaranya. Generasi ketiga perusahaan batik Danar Hadi sendiri, ia menyebutkan, tidak ada yang bisa membatik. Jadi benar-benar murni hanya menjalankan perusahaan saja. Terselip keprihatinan di tengah kekaguman yang kami rasakan. Kami orang muda, dan kami merasa ikut andil dalam pelestarian aset bangsa ini.

Langit jingga menyapa begitu kami kembali ke Yogyakarta. Definitely, we will go for another culture visit. Jalan-jalan, selain untuk memperbarui cinta di antara kami berdua, juga untuk memperdalam kebanggaan pada negeri Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun