Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Razia dan Sweeping (1)

8 Agustus 2012   09:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:05 25516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kata "sweeping" sepertinya menjadi kata yang akrab bagi kita beberapa tahun terakhir. Secara umum, kita memahami sweeping sebagai "razia" yang tidak resmi, karena yang biasanya melakukan razia adalah petugas Satpol PP, sedangkan yang biasa melakukan sweeping adalah oknum-oknum dari kelompok masyarakat tertentu.

Saya tidak tahu sejak kapan istilah sweeping tersebut mulai menghiasi halaman-halaman media kita, namun sejauh yang saya ingat, istilah tersebut belum dikenal di era Suharto. Konon, pada waktu itu, sang "Jenderal yang Tersenyum" tersebut mengutamakan stabilitas keamanan dan ketertiban di negaranya.

Lalu tibalah kita di era kebebasan: reformasi. Semua orang seolah-olah memiliki hak seluas-luasnya untuk menyatakan pendapat tanpa takut lagi diciduk atau dihilangkan oleh kaki-tangan sang Jenderal. Euforia kebebasan berkembang nyaris tanpa batas. Sekarang, bahkan "kebebasan" itu disalahgunakan kelompok-kelompok tertentu untuk membatasi kebebasan orang lain.

Maka, muncullah istilah "sweeping."

Jika di dalam razia, petugas berurusan dengan pihak-pihak yang melanggar peraturan, di dalam sweeping, oknum pelaku berurusan dengan pihak-pihak yang berbeda ataupun melakukan kegiatan yang tidak sesuai atau melawan apa yang diyakini olehnya. Baik razia maupun sweeping, keduanya hampir serupa. Pelaku (merasa) berada di pihak yang benar, sedangkan subjek-subjek yang dirazia atau di-sweeping adalah pihak yang bersalah.

Namun demikian, di dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan juga bercirikan sopan santun seperti Indonesia, kedua hal tersebut tidak seharusnya terjadi. Sudah terlalu sering kita melihat, bagaimana petugas yang melakukan razia memperlakukan pedagang, pengemis, pengamen, anak jalanan, dan sebagainya, bak bukan manusia yang patut dihargai martabatnya. Dikejar-kejar, didorong-dorong, dipukuli, dicukur paksa, dan berbagai perlakuan tidak manusiawi lainnya sering diterima oleh "korban" kesewenang-wenangan petugas. Padahal, para petugas itu adalah abdi negara dan pelayan masyarakat, bukan preman yang dipakaikan seragam.

Lagipula, bukankah konstitusi kita mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar itu dipelihara--bukan dirazia--oleh negara?

Salah satu ungkapan Jawa menyebutkan, "Ngono yo ngono ning mbok ojo ngono." Silakan berbuat seperti yang dinginkan, tapi janganlah keterlaluan dalam melakukannya, begitulah kira-kira artinya. Silakan menegakkan peraturan, namun jangan "keterlaluan" sampai-sampai melanggar aturan yang lebih utama seperti jaminan atas hak seseorang untuk mencari penghidupan yang layak dan berbagai hak asasi manusia lainnya. Termasuk di dalamnya, adalah hak untuk bebas dari intimidasi, baik secara fisik maupun verbal.

Oleh karena itu, jangankan sweeping yang jelas melanggar hukum, bahkan razia yang dilakukan secara semena-mena oleh petugas resmi pun semestinya tidak kita dapati di negeri ini. Jika ingin mengajak seluruh elemen masyarakat untuk maju, cara yang paling sesuai untuk negara demokrasi adalah dengan merangkul, bukan menarik, mendorong, apalagi memukul. Artinya, negara beserta aparaturnya tidak boleh mengambil jarak ataupun mengambil posisi berhadapan dengan rakyatnya. Kemajuan paling efektif dicapai lewat sinergi (kerjasama), bukan represi (paksaan/tekanan).

[bersambung]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun