Tinggal di lingkungan kompleks tentara di masa kecil yang mirip cluster membawa pengalaman tersendiri bagi kami. Rumah yang berhadapan dibatasi jalan lingkungan yang tak seberapa lebar membuat apapun yang terjadi pada tetangga mudah dideteksi dan diketahui.
Meskipun keakraban antar tetangga adalah salah satu nilai lebih tetapi keributan antara tetangga tak jarang juga terjadi. Perselisihan tak hanya mengenai persoalan anak-anak kecil seperti kami yang kadang saling berkelahi satu sama lain dalam permainan tetapi juga kerap melibatkan antara Ibu rumah tangga yang hampir keseluruhannya adalah Istri tentara.
Kami anak-anak kecil tak pelak merekam segala lontaran kemarahan antara dua tetangga yang saling berselisih paham, dipaksa mengerti oleh pendengaran kami yang mencoba menerka apa gerangan persoalan yang sedang dihadapi oleh mereka para orang dewasa. Kadang saling pandang tak mengerti terjadi pada dua teman kami yang kebetulan ibu-ibu mereka sedang berselisih paham diantara mereka. Jika keributan berhenti maka kami kembali bermain bersama seolah tak terjadi apa-apa sementara para ibu yang bertikai masih berlanjut dengan saling diam dan tak saling tegur sapa hingga berminggu-minggu setelahnya.
Kepada ibu saya sering bertanya kenapa teman-teman ibu kerap bertengkar untuk hal-hal yang beragam banyak penyebabnya. Ibu Cuma bilang kepada saya bahwa keributan itu mencerminkan suasana hati mereka.
“Beberapa saat ketika mereka berhenti bertengkar, nanti juga satu persatu akan datang pada ibu. Bercerita tentang persoalannya, bercerita tentang betapa buruk lawan bertengkarnya,” sahut ibu suatu kali sambil membungkus keripik-keripik pedas jualannya. Ibu adalah sosok yang tak banyak bicara, ia lebih banyak bertindak dan bersosialisasi dengan tindakannya. Para tetangga kerap menjadikan beliau tempat bercerita dan bila mereka bercerita saya sering terjebak dalam percakapan yang sebetulnya tak boleh saya dengar sebagai anak kecil. Tetapi apa mau dikata kuping saya tak bisa saya sumpal untuk tak mau mendengar pengaduan dan curahan hati teman-teman ibu, para tetangga kami.
“Terus kenapa ibu nggak pernah aku lihat bertengkar dengan satupun tetangga disini?” tanya saya.
“Ibu terlalu sibuk untuk berpikir bagaimana menambal kebutuhan hidup kalian semua. Gaji bapakmu kan nggak seberapa. Mengurus warung kecil saja sudah cukup buang tenaga, kenapa mesti sibuk bertengkar dengan mereka,” beliau tersenyum.
“Lalu apa yang membuat mereka nantinya baik kembali, saling bicara lagi. Apa saling minta maaf?” tanya saya.
Kepulan asap api lilin mengibas-ngibas ekornya ketika ibu tak sengaja menyenggol sumbu saat membakar plastik pembungkus keripik pedas agar tertutup rapat.
“Sampai mereka datang keduanya pada Ibu, nggak ada satupun pendapat mengenai apa gerangan yang memicu keributan mereka yang bisa ibu simpulkan. Nggak ada hak ibu untuk bilang siapa yang salah karena begitu menyimpulkan sebelum mendengar keduanya maka itu adalah satu hal yang salah,” ujar ibu.
Memang tak jarang tetangga kami Ibu-A ketika usai bertengkar dengan ibu-B datang bergiliran pada ibu, sekedar melampiaskan cerita asal-usul pertengkaran mereka dan menganggap dirinya paling benar dan kesalahan ditimpakan pada lawan seterunya lewat cerita. Ibu tak perlu mempertemukan keduanya setelah masing-masing datang, tetapi lebih memilih menyampaikan sudut pandang pada kesempatan lain pada masing-masing. Hal yang tak mampu disampaikan mengenai persoalan sebenarnya karena emosi bisa ibu sampaikan dengan jernih sehingga bisa diterima keduanya.