Mohon tunggu...
Aru Wijayanto
Aru Wijayanto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Luka Wiranto dan Purbasangka Politik di Era Post-Truth

16 Oktober 2019   12:59 Diperbarui: 17 Oktober 2019   10:29 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

LEWAT beberapa tayangan video amatir--yang kemudian ramai di media sosial dan media mainstream--kita semua bisa melihat bagaimana Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto agak limbung sebelum akhirnya tersungkur setelah menjadi korban penusukan di Alun-alun Menes, Pandeglang, Banten, (10/10/2019).

Suasana langsung berubah panik. Bahkan di tengah kekacauan yang berlangsung cepat itu, Kapolsek Menes Kompol Daryanto tak lagi mampu menghentikan serangan bertubi-tubi yang diarahkan ke dirinya secara membabi-buta.

Daryanto mengalami luka tusuk di punggung, lengan kanan, dada, bahu, dan siku. Ia dihantam dari belakang, meski akhirnya si penyerang dapat dibekuk. Menkopolhukam langsung dibawa masuk kembali ke mobil menuju rumah sakit dengan perjalanan lebih dari 30 menit dan luka yang masih mengeluarkan darah. Akibat dari dua tusukan yang menghujam perut, Wiranto harus kehilangan usus halus sepanjang 40 centimeter. Usus Wiranto mengalami infeksi sehingga harus dipotong.

Kita semua tersentak. Seorang Menkopolhukam ditusuk orang yang belakangan diketahui merupakan bagian dari terduga teroris jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Tentu saja, ini peristiwa yang menyedihkan. Seorang pejabat negara ditikam di tempat terbuka, di tengah kerumunan orang. Meski kita tahu, ini bukan kali pertama terjadi di Indonesia.

Sembilan belas tahun silam, Wakil Ketua MPR yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Matori Abdul Djalil dibacok orang di sekitar rumahnya di Kompleks Tanjung Mas Raya, Jakarta Selatan. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 9 Maret 2000 itu membuat Menteri Pertahanan di era Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) itu harus menjalani perawatan serius di rumah sakit. Untung saja ia selamat.

Bahkan jauh sebelum itu, Presiden Soekarno pun beberapa kali mengalami teror dan percobaan pembunuhan. Upaya pertama terjadi pada 30 November 1957, ketika Bung Karno menghadiri perayaan ulang tahun ke-15 Perguruan Cikini, tempat kedua anaknya--Guntur Soekarnoputra dan Megawati Soekarnoputri--bersekolah. Setelah tragedi di Cikini, percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno masih terus terjadi, mulai dari penyerangan saat shalat Idul Adha hingga penembakan ke Istana Negara. Tapi, seluruh percobaan pembunuhan itu gagal.

Aksi teror terhadap Wiranto ini memang agak sedikit berbeda situasinya dengan peristiwa di zaman sebelumnya. Wiranto menjadi korban penikaman ketika negara ini--bahkan dunia--tengah berada di era post-truth. Sebuah zaman di mana orang biasa pun bisa membuat informasi tandingan--yang umumnya dilatarbelakangi perbedaan pandangan dan pilihan politik--untuk mengaburkan fakta yang sesungguhnya. Sebuah era di mana manusia (bisa) hidup di dalam kebohongan dan menganggap hal tersebut tidak lagi sebagai masalah besar. Zaman ketika banyak orang tumbuh dalam tempurung purbasangka.

Inilah yang terjadi. Wiranto menjadi korban dua kali. Lihat saja, hanya sesaat setelah peristiwa penusukan terhadap dirinya, muncul anggapan di media sosial--yang kemudian naik ke media mainstream--yang mengatakan bahwa aksi teror itu merupakan hasil rekayasa atau settingan untuk pengalihan isu. Tega sekali. Hanya karena berbeda pandangan dan pilihan politik, orang lain ditempatkan sebagai musuh selama-lamanya, bahkan bila perlu diserang dengan kebohongan-kebohongan.

Fakta-fakta objektif dari suatu peristiwa dipandang tidak lagi penting untuk membangun opini publik. Opini dibangun dengan cara membangkitkan emosi dan keyakinan personal masyarakat: suatu banalitas kebohongan yang membuat akal budi manusia kesulitan untuk melihat kebenaran secara jelas.

Apalagi di era post-truth ini, batas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan ketidakjujuran, fiksi dan non fiksi, tidak lagi jelas. Melalui bahasa, dibangunlah rasionalitas baru untuk menggiring opini masyarakat sesuai dengan target yang diinginkannya. Seolah-olah ada kesengajaan mengingat--mestinya--seorang pejabat negara dikawal secara optimal. Atau, seolah-olah peristiwa itu merupakan cara lain untuk memulai perang terhadap radikalisme.  

Mereka mengaburkan fakta-fakta lain bahwa peristiwa yang dialami Wiranto bukanlah kasus pertama di Indonesia, apalagi di dunia. Toh, JF Kennedy--dengan pengawalan sekelas Presiden AS--juga tewas ditembak di tengah iring-iringan rombongan Presiden. Juga Mahatma Gandhi yang ditembak senjata otomatis dari jarak dekat setelah sebelumnya si pelaku berlutut di hadapannya pada sebuah acara pertemuan doa. Atau Martin Luther King, Benigno Aquino, hingga keluarga Buttho. Bahkan George W Bush pun bukan satu-satunya pemimpin di dunia yang pernah dilempar dengan sepatu saat berada di mimbar dalam suatu acara resmi di Irak yang padat pengawalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun