Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sarjana Menganggur Adalah Pilihan?

2 September 2015   16:03 Diperbarui: 2 September 2015   16:03 3321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari sisi antropologis, sarjana itu telah ber-identik dengan tak kerja! Dibingungkan juga penulis atas ujaran yang juga telah membudaya ini. Hingga kolom artikelku ini, masih penulis beranggapan bahwa trend sarjana menganggur cukup layak diangkat di layar monitor di beragam blog dan media sosial. Sarjana menganggur adalah gejala sosial yang masih jua mainstream, fenomena sosial yang 'anti sosial' sebab tak direstui oleh masyarakat akan deretan sarjana yang hampa job. Penulis menanggalkan dulu aspek pangsa kerja, segmen adonan kurikulum di perguruan tinggi atau semacamnya. Sebab, itu semua hanyalah faktor eksternal, istilahnya hanyalah sebagai enabling belaka. Jangkarnya tetaplah pada keutuhan individual -terutama soal mentalitas- berikut kemampuan akademik. Kemampuan akademik amatlah sempitnya, masihlah penting kemampuan yang lain, seumpama daya jelajah seorang sarjana atau alumnus sebuah universitas dan sekolah tinggi.

Mitologi optimis

Kala penulis di jeda perkuliahan, sesempatku bertanya; setelah mereka klar studi, apa yang akan mereka lakukan? Seluruhnya menjawab: "Kerja, Pak!". Sebuah jawaban yang sedari dulu tetap standardized. Tiada yang salah atas respon para mahasiswaku itu. Jaman memang memaui yang demikian itu. Penulis memegang kata-kata mahasiswaku hingga kuberjumpa seorang darinya, semalam. Ia bertandang ke rumah dengan sebuah urusan, lalu penulis bertanya: "Kerja di mana sekarang?". Jawaban fantastis darinya adalah senyuman malu-malu. Tiada seoptimis dulu, saat penulis masihlah mengajarnya di kampus Universitas Hasanuddin, Makassar. Rada-rada hadir ketimpangan di sudut pikiranku, dan juga amatanku. Ketimpangan pertama itu, tentu bersumber dariku, bisa jadi penulis sudah meleset cara mengajarku, ataukah pesan-pesan dalam materi perkuliahanku tak sampai.

Ataukah ketimpangan itu, berasal dari orang yang pernah kuajari itu. Penulis tak menuduh, hanya sedikit berasumsi bahwa daya juangnya sedikit menurun ketimbang saat ia masih menjadi mahasiswaku. Maka, mitologi optimis justru menjadi 'aneh', dan juga tak synchronize dengan keadaannya, sekarang ini. Apa yang salah dengan semua inikah? Penulis tak berani memvonis tetapi pasti ada yang salah tetapi tak tahu di mana letak salahnya!

Berharap menjadi PNS memang fakta epidemi kronis, puluhan tahun penyakit kronis ini mendiami hati para sarjana (walau tak seluruhnya, red). Lalu, tak lulus-lulus jadi PNS hingga memilih apatis, inipun memperluas jangkitan penyakit itu. Penulis begitu pandai membahasakan ini, sebab penulis tiada merasai apa yang dirasa oleh para 'mantan' mahasiswaku. Trend ini sangatlah pas dengan lirik sebuah lagu: "Kini Baru Kau Rasa" kepunyaan Mbak Dewi Pagi, eh salah Dewi Yull. He he he.

Dinamik

Di pojok lain, penulis mengamati seorang sarjana yang juga pernah penulis mengajarinya di kampus. Saat wisuda, keseokan harinya, tiada waktu terbuang cuma-cuma, ia bergerak dan gerak. Tak peduli aplikasinya diterima atau ditolak, ia tetap tersenyum. Ia begitu dinamis di setia harinya, dua rumah sakit telah menolaknya untuk bekerja, ia tak patah arang. Ia lanjutkan 'gerakannya' merambah setiap peluang sambil disasaki gelombang spirit. Lalu ia ajukan lamaran kerja di sebuah perusahaan, iapun diterima dengan gaji yang tak seimbang dengan beban kerja. Ia lakoni baik-baik sebagai ajang latihan bekerja di 'dunia kerja'. Kisahnya amatlah menginspirasi penulis, walau kisah-kisah serupa ini banyaklah terjadi di seputaran kita. Ya, banyak terjadi tetapi kurang dihikmahi oleh sarjana lainnya. Hingga judul artikelku, kuberi label: Sarjana Menganggur Adalah Pilihan!. Ya, pilihan kepada sarjana yang tak dinamis, memilih pasif, dan seolah-olah menanti bola muntah yang amat jarang terjadi.

Kisah berlanjut, 'eks' mahasiswaku itu resign dari perusahaan tempat ia bekerja. Seperti ungkapannya bahwa fase pertama bekerja adalah menuai pengalaman, mengumpulkan empirik, dan empirik itu tak dijumpai di kampus. Kalaupun empirik itu ada, itu juga hanya buatan, bukan unsur alamiah. Istilah kerennya; simulasi pra kerja. Dan, semua itu bisa disebut membantu, bisa juga tidak! Amatlah relatif. Selanjutnya, 'bekas' mahasiswaku itu, diterima di sebuah perusahaan lagi. Berkat pengalaman kerja (sebelumnya), ia gesit dan cukup adaptif (ex: cara berkomunikasi, kekompakan tim, dan teknik problem solving). Ditawarkan olehnya menjadi 'kepala' di sebuah unit marketing, ia tak serta-merta menerima atau menolaknya. Ia minta waktu 3 (hari) untuk mempertimbangkannya. Sebuah simbol kejeniusan yang mulai menempel pada dirinya.

Penulis sudah dapat melakukan hipotesa atas penuturan anak didikku itu, ujung-ujungnya ia akan sukses dalam versi spirit sosial-akademik. Bahwa ia telah mampu menggunakan logikanya sebagai seseorang yang pernah mengenyam kursi perkuliahan. Sungguh, penulis tak menilainya dari unsur material, itu bukan cakupanku. Kompasianer Makassar ini, justru sangatlah berbahagia atas gerakan-gerakan dinamisnya. Makna lainnya, sarjana yang dinamis, tinggal menanti masa-masa cerah-ceria-celengan. Celengan maksudnya; tabungan hasil kerja. Bila itu menjadi indikator kesuksesan seorang sarjana, di samping indikator lain toh! He he he.

Penulis menuliskan ini, semata-mata sebagai pengingat saja kepada para sarjana, penulis pahami bahwa apa yang penulis hamparkan di halaman Kompasiana ini, mereka juga telah paham. Bahwa dinamis memang password dalam hidup, namun penulis justru belum paham mengapa ada-ada saja berdiam diri, apatis dan larut dalam kebuntuan diri. Ah inilah akar masalahnya yang mesti dibabat! Dan barangkali kita simpulkan secara sederhan saja bahwa sarjana menganggur atau sarjana aktif adalah pilihan. Jadi, bukan lagi perkara bekerja atau tak bekerja, bukan?

Salam Kompasiana Sore
Makassar, 2 September 2015
Dari seorang kawan:
@m.armand

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun