Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tawa Ceria Pak Mat, Tukang Patri yang Masih Tersisa

31 Mei 2019   18:20 Diperbarui: 3 Juni 2019   04:06 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Crek.... crek... crek... crek... suara kepyek sedang dibunyikan oleh seorang tukang patri yang sedang menawarkan jasanya untuk menambal panci, rantang, dandang, kompor minyak tanah atau alat masak lainnya yang bocor. 

Pada jaman 60 hingga awal 80an, tukang patri masih banyak yang dijumpai baik yang keliling atau membuka lapak sendiri. Semakin majunya teknologi di mana peralatan dapur lebih banyak terbuat dari alumunium maka daripada seng atau plat tipis  yang mudah berkarat dan menyebabkan lobang kebocoran maka tukang patri sudah sulit dijumpai.

Tukang patri pada masa lalu biasanya membawa beberapa alat seperti arang, tungku arang yang diberi kipas blower manual untuk mempercepat terbakarnya arang, pematri, timah, kikir, uncek, seng kecil sebagai penambal, dan petil atau palu kecil, juga kipas bambu jika tungku tidak ada blowernya.

Pada masa kini, tukang patri keliling tidak lagi membawa tungku, arang, kipas, pematri, dan timah lagi. Peralatan yang dibawa semakin sedikit seperti uncek semacam obeng tetapi runcing yang berguna untuk memperlebar lobang, kling, dan petil. 

Bagaimana cara kerjanya? Peralatan dapur yang berlobang atau keropos digosok dengan kikir jika lobang kecil akan diperlebar seukuran 2-3 mm lalu dimasuki keling. Selanjutnya keeling dipukul pelan-pelan hingga tipis menutup lobang panci yang bocor.

Inilah yang dilakukan seorang tukang patri yang masih tersisa di jaman milenial ini. Sebut saja namanya Pak Mat, pria lansia berasal dari Jombang yang telah masuk Malang sejak tahun 1956. 

Lelaki bujangan tanpa ketrampilan ini datang ke Malang untuk boro atau mengembara mencari nafkah. Sulitnya mencari pekerjaan dengan fisiknya yang kecil sekali pun sebagai seorang buruh menyebabkan ia memilih sebagai tukang patri untuk hidup.

Lebih dari 50 tahun, Beliau menyusuri lorong-lorong jalan kampung menawarkan jasanya. Pendapatan yang tak pernah menanjak justru semakin menurun karena perkembangan jaman terus dilakoninya tanpa keluhan.

ung di obroknya.dokpri
ung di obroknya.dokpri
Dokpri
Dokpri
Rejeki tak bisa dihitung secara matematis, pendapatan yang amat pas-pasan toh bisa menghidupi tiga anak yang memberi tiga cucu. Sekali pun usianya sudah lebih dari 80 tahun, Pak Mat masih saja menyusuri lorong-lorong kampung dan perumahan kecil yang masih banyak keluarga sederhana. Seperti saat dijumpai penulis di daerah Polehan, Malang.

"Pak...kok tidak membawa alat patri, kalau lobangnya besar kan tidak bisa dikeling?" tanya penulis setelah Pak Mat menambal panci seorang ibu pemilik warung. Dengan tawa yang lebar sedikit ngakak Beliau  mengatakan,"Kalau lobangnya besar tak usah ditambal. Beli saja yang baru. Kan harga panci sekarang murah....." Sebuah pengakuan jujur yang tak kami sangka.

Setelah ia menerima upah menambal sebesar 5,000 rupiah untuk sebuah panci dan dua buah rantang, Pak Mat melanjutkan keliling kampung dengan sepeda jengki butut dengan obrok (kotak tempat perlengkapan) yang tertulis nama dan no hape pula. Diayunkannya kepyek, sebuah rangkaian 7 buah plat tipis ukuran 5-8 cm dan ujungnya diberi pegangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun