Mohon tunggu...
Anung Anindita
Anung Anindita Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Bahasa Indonesia SMP Negeri 21 Semarang

twitter: @anunganinditaaal instagram: @anuuuung_

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Strata Terendah, Kaum Single Berhak Menolak

1 Desember 2019   12:34 Diperbarui: 2 Desember 2019   04:39 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi High Quality Jomlo (sumber: Thinkstockphoto via kompas.com)

Aku jomblo
Aku tidak ingin menikah lagi
Aku tidak ingin menikah

Apakah perbedaan ketiga pernyataan di atas dengan pernyataan lain, seperti aku ingin tidur sekarang, aku ingin makan, aku ingin mandi (?). Secara makna, memang berbeda, tetapi jika dikaji mendalam, ada perbedaan maksud (baik eksplisit maupun implisit) dan rasa. 

Seperti kata "anjing" atau "babi" yang sebenarnya secara denotasi bermakna hewan, kedua kata tersebut memiliki rasa atau maksud konotasi yang cenderung negatif karena kebiasaan penggunaan kedua kata tersebut memang berada di zona negatif, misalnya untuk mengolok-olok.

Analogi yang sama juga terjadi untuk ketiga pilihan hidup tersebut, baik laki-laiki maupun perempuan. Keadaan jomblo dan tidak menikah seakan hina, bahkan cenderung jelek di mata mayoritas masyarakat. Mengapa demikian? 

Hal itu terjadi karena kebiasaan memandang secara homogen. Semua harus sama, sama-sama sempurna. Seluruh masalah orang-orang harus becermin kepada solusi kebanyakan orang, meskipun konteks permasalahan lebih sering tidak sama dengan "kebanyakan orang".

Pada zaman yang digadang-gadang menuju perubahan drastis atas hadirnya teknologi, saat ini, proses labeling semacam "jomblo berarti tidak laku, terlalu punya standar yang tinggi, harus mengingat umur agar tidak terlalu pemilih" masih kerap terjadi. 

Dampaknya, akan timbul "strata" sosial yang mengarah pada diskrimasi.

Spesifiknya, terjadi ketimpangan perilaku antara satu golongan dan lainnya. Terlebih jika salah satu kelompok yang berusaha memarginalisasi kelompok lainnya secara negatif memiliki suara mayoritas, perbedaan perilaku tersebut akan semakin terasa. 

Penghakiman masal atas buruknya pilihan seseorang yang ditinjaunya secara subjektif menutup rasa toleransi yang sebenarnya harus terus dikembangkan.

Namun, keadaan lebih memilih berpihak kepada suara terbanyak atau mayoritas membuat arahan kiblat normal berada di sana sehingga pilihan-pilihan hidup, seperti jomblo atau tidak menikah menjadi sesuatu yang dicap salah, tidak normal.

Respons masyarakat kebanyakan yang cenderung tidak toleran terhadap pilihan hidup orang lain sudah selayaknya diarahkan menuju sikap berpikir terbuka yang toleran. 

Tidak mudah memang mengubah pemikiran dasar umum seperti "menikah adalah keharusan atau jomblo adalah aib" menjadi "menikah adalah pilihan, jomblo adalah pilihan".

Sudah semestinya masyarakat lebih menunjukkan kepedulian dengan benar-benar bersikap peduli, bukan dengan memaksakan kehendak sesuai standar kebenaran diri. 

Hal itu terjadi karena memang tidak bisa menggunakan cermin diri untuk mengatur solusi permasalahan orang lain. Selain subjeknya berbeda, konteks masalah satu persona dengan yang lain mustahil sama.

Jelas, kesoktahuan dengan mengatakan "cepat sana punya gebetan, buruan menikah ingat umur, jangan sampai jomblo seumur hidup" tidaklah semudah mengeluarkan kotoran hidung dengan jari telunjuk, bukan? 

Daripada menekan orang lain untuk berbuat sesuatu, lebih baik menghargai dengan tidak mengolok-olok dan memperlakukan seperti biasa saja, tidak sulitkan?

Memberikan perlakuan yang setara tampaknya bukan hanya kerja para feminis yang giat menyebarkan ihwal kesetaraan gender. Hal tersebut terjadi karena kaum jomblo juga diperlakukan tidak setara. 

Perihal ini tidak bisa dianggap remeh atau "ya biasalah masyarakatkan memang suka begitu" karena lama kelamaan, anggapan jomblo adalah aib mungkin saja bisa atau bahkan kiranya sudah terjadi.

Tidak jarang, teman yang tidak memiliki pasangan atau memutuskan untuk tidak memiliki pasangan akan menjadi objek perbincangan. 

Kaum minoritas ini akan menjadi bulan-bulanan lelucon, ramai menerima tag quote-quote bijak soal percintaan, dan cenderung dipaksa untuk "ayolah buka hatimu untuk orang lain". 

Namun, sebenarnya hal-hal itu justru akan menjadi beban yang menekan. Niatan ingin sembuh dari sakit hati atau mungkin trauma, yang didapat justru kata-kata motivasi bernada paksaan atau olokan.

Pemberian zona eksklusif bagi jomblo justru akan menciptakan lingkungan yang tidak sehat. Pengotak-ngotakan tempat antara jomblo dan nonjomblo hanya akan memberi ruang gerak yang berbeda. 

Artinya, kaum minoritas (jomblo) akan merasa tidak nyaman berbaur dengan mayoritas dan sebaliknya, kaum mayoritas akan semena-mena menilai dan memberikan ceramah mengenai pentingnya menjalin kasih asmara.

Fenomena ini bukan rekaan karena memang benar-benar terjadi dan mudah ditemukan di keadaan sekitar. Mulailah dari diri sendiri untuk menghargai kondisi orang lain karena terkadang mereka tidak mencari solusi, mengemis peduli, atau ingin dikasihani. Mereka adalah kita, sama!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun