Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Kupanggil Zen 3, "Mbak, Aku Emoh Punya Kakak Ipar Ini!"

28 Maret 2020   07:36 Diperbarui: 28 Maret 2020   08:05 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjerit kencang Ningrum adikku, demi mengetahui Zen datang untuk menikahiku. Rupanya dia tahan sedari tadi, tapi begitu Zen pamit sesudah ibu melarangku dengan kata-kata panjang.

 "Maafkan ibu Nak Zen. Kalau begitu tidak sekarang. Selesaikan dahulu permasalahan dengan Fatur,  izin padanya. Kalau tak boleh tunda,  sampai dia mengizinkan. Kalau tetap tak boleh,  kita seduluran saja. Tidak ada pernikahan. Dan kau Nisa. Hari ini kau kularang pergi dengan Zen. Biar nanti Diano mengantarmu pulang."

Ningrum tak bisa menahan diri. Matanya mendelik, hampir keluar. Bibirnya bergetar menyiarkan gundah sangat.  Dia mengenal Zen,  tentu saja. Lelaki yang selalu mengejarku tapi tak pernah kepedulikan. Lelaki yang punya sejarah panjang dengan banyak wanita yang katanya tidak satupun bisa membuat jatuh cinta.

Aku banyak bercerita padanya tentang Zen. Juga tentang petualangan-petualangannya dengan para wanita terhormat. Demi data atau demi memenangkan proyek dia akan lakukan apa saja. Termasuk merayu,  menyenangkan wanita itu. Bahkan membuai mereka dengan kalimat manis,  untuk akhirnya bisa diajak jalan berdua.

Ningrum sering mengingatkaku untuk hati-hati dengan Zen. Tapi aku bergeming. Tidak peduli. Kukatakan "He just a partner. I need his money."

Untuk menenangkan,  kupastikan pada Ningrum aku tak kan tergoda. Tak mungkin aku menikah lagi. Setelah diselingkuhi Sam, ayah Fatur yang telah membuatku harus banting tulang mencari nafkah sendiri. Cerai. Tanpa hak dinafkahi. Itu kuajukan demi segera turun surat perceraian.


Usai Zen pulang,  Aku,  Ningrum dan ibu tetap duduk satu meja. Jeritan Ningrum ditanggapi dingin oleh ibu.

"Kau kenapa Ning, bukankah dia berniat baik sudah datang kemari. Menikahi Mbakmu. Itu harus dihargai, dia serius . Ibu hanya tak mau ada pernikahan sirri dan Fatur tak mengetahui. Itu saja."

" Bu,  Zen itu playboy cap sapu ijuk. Segala wanita disapu. Dia mau. Aku tak mau Mbak Nisa dijadikan salah satu yang disapu."

"Betul begitu Nis?" Tatapan ibu menghunjam menyelidik bola mataku.

" Ya bu, tapi dia pernah bilang. Itu hanya pelampiasan. Karena tak ada istri yang melarang. Kalau saya jadi istrinya, dia janji tak akan melakukan lagi."

"Moduss!" Sergah Ningrum berapi-api. "Kalau memang cinta Mbak Nisa, dia akan tutup akses modus sama cewek lain. Tidak harus lewat menikah dulu."

"Nisa,  pernikahan bukan hanya untuk memenuhi hasrat cinta saja. Aku yakin kau sekarang sedang jatuh cinta. Tapi pikirkan efeknya juga. Untukmu, kau sudah berpengalaman disekingkuhi. Untuk Fatur juga, apa dia siap punya ayah seperti Zen." Tutur ibu dengan suara tenang,  seperti biasanya. Ketenangan yang selalu bisa membuatku berpikir jernih.

Belum sempat aku mengungkapkan pikiran,  bahwa aku akan melakukan ini itu,  sekali lagi Ningrum bereaksi. "Mbak,  yang kukhawatirkan lain lagi. Lha itu tititnya ada penyakit gak celup sana sini?"

"Hah!"  Aku kaget mendengar Ningrum berkata begitu. Sungguh spontanitas yang membuat tercengang pun tertawa. Meski masuk akal juga. Menyadarkanku hal yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. 

"Jiahaha,  titit. Ada-ada saja kau. Tapi kau betul juga. Baiklah, aku takkan menikah dengan Zen. Setidaknya untuk saat ini. Sambil memastikan tititnya penyakitan apa enggak. Hehe kau ini."

Ibu tersenyum saja,  menyaksikan perbincangan kami. Menimpali dengan singgung senyum.

"Nah,  itu harus dipikirkan juga. Selain Corona, Aids mematikan juga loh. Jangan terburu nafsu. Pikirkan itu."

"Ya bu."

Kuturuti kata-kata ibu. Setidaknya untuk saat ini. Aku harus pastikan tidak ada hal buruk yang akan menimpa. Untukku juga anakku.

****


"Cintaa,  kita besok pagi bertemu ya. Aku sudah dapat kiyai,  yang bersedia menikahkan kita. Katanya statusmu janda,  jadi tidak perlu wali."

Satu chat Zen membuat mataku lekat menatap gawai. Masuk ketika Diano sudah siap mengantarku pulang. Terrano ibu sedang dipanasi, aku duduk menanti di terrage rumah bersama ibu dan Ningrum.

Melihat gelagatku Ningrum dengan penasaran mengintip gawai. Dan,  kudengar  teriakan dengan kalimat seperti ketika Zen pulang tadi,

 " Ojo Mbak! Aku emoh punya Kakak Ipar ini! Ingat titit ya."

Hlah.

Anis Hidayatie,  untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun