"Ibunya..."
"Kukira wajar karena dia ibunya," jawabku.
"Ada yang aneh dengan ibunya. Sebetulnya dia tidak sakit, tetapi selalu pura-pura sakit, Jarot adalah anak bungsu kesayangannya, dan mereka sangat dekat, teramat dekat, sehingga mengabaikan kami, aku dan anak-anak, dan Jarot tidak pernah berusaha untuk berubah," ujarnya.
"Oh my God..."
*
Jarot duduk dihadapanku dengan tenang. Ini adalah kedua kali aku berhadapan dengannya. Aku berusaha menyembunyikan keadaan yang aku tahu dari istrinya. Dan Jarot adalah pria yang tak pernah mau dianggap cacat. Dia seorang perfeksionis akut yang selalu ingin sempurna.
"Apa kabarmu," tanyaku.
"Yah seperti ini, hidup dari angka ke angka, membosankan," katanya.
"Saya kira tak membosankan kalau angka-angka itu adalah nilai rupiah, Â hahaha..."
"Ha... Ha... Ha..."
Kalau dulu, aku berbicara secara formil, sekarang aku lebih santai. Berhadapan dengan seseorang untuk kedua kalinya terasa lebih mudah dibandingkan bertemu pada kali pertama. Dia tidak jelek. Ada ketampanan bersembunyi di balik kacamata minusnya. Dan sorot mata itu, sangat tajam dan menggambarkan kecerdasan.