Mohon tunggu...
andri muhammad
andri muhammad Mohon Tunggu... serikat pekerja seluruh indonesia -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

terserah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sosok Presiden Jokowi: Pencitraan atau Karakter?

29 Oktober 2018   16:51 Diperbarui: 29 Oktober 2018   16:51 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang dilakukan Jokowi ketika itu jauh dari sorotan media. Cara pendekatannya yang lebih ramah dan juga merakyat itu juga masih dilanjutkan hingga kini. Banyak sisi yang tak berubah dari diri Jokowi, baik ketika dirinya menjadi Walikota, Gubernur, hingga Presiden RI.

Oleh karenanya, alih-alih menyebut semua itu sebagai politik pencitraan, maka lebih tepat jika disebut sebagai karakter asali. Hal itu terkait dengan nilai, visi, dan pengalaman hidup yang melekat dalam dirinya.

Kita harus akui bahwa politik Jokowi itu melayani. Dia bukan sosok priyayi yang memiliki meminta dilayani secara feodal. Hal itu kemungkinan besar berelasi dengan pengalaman hidupnya yang merintis dari bawah, juga lahir dari kalangan biasa. 

Dari segi latar belakang, Jokowi bukan politisi yang aji mumpung. Dia membangun semuanya dari bawah. Dia juga bukan berasal dari anak seorang konglomerat ataupun elit politik sebelumnya. Karenanya ini yang membedakan pendekatannya dalam berpolitik.

Tanpa modal kekayaan, modal keturunan, juga modal popularitas, nama Jokowi bisa melejit ke tataran politisi papan atas Indonesia. Hanya satu yang bisa "dijualnya" yakni kinerja, prestasi, dan optimisme.

Siapa sangka seorang pengusaha mebel yang 10 tahun lalu masih menjadi Walikota, tetiba sekarang menjadi Presiden RI. Bahkan kemungkinan besar akan lanjut ke periode kedua. Tanpa ketiga kata di atas (kerja, prestasi, dan optimisme), atau hanya mengandalkan politik pencitraan, mustahil semuanya bisa terwujud.

Kita seyogianya harus 'fair' dalam menilai sesuatu. Adil sejak dalam pikiran. Tak bisa semuanya itu digebyah uyah menurut penilaian kita yang kadang tak sesuai dengan realitas.

Penilaian yang adil itu yang akan mengarahkan kita pada kejujuran. Tentu, semuanya pasti akan setuju dengan kata ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun