Apa yang dilakukan Jokowi ketika itu jauh dari sorotan media. Cara pendekatannya yang lebih ramah dan juga merakyat itu juga masih dilanjutkan hingga kini. Banyak sisi yang tak berubah dari diri Jokowi, baik ketika dirinya menjadi Walikota, Gubernur, hingga Presiden RI.
Oleh karenanya, alih-alih menyebut semua itu sebagai politik pencitraan, maka lebih tepat jika disebut sebagai karakter asali. Hal itu terkait dengan nilai, visi, dan pengalaman hidup yang melekat dalam dirinya.
Kita harus akui bahwa politik Jokowi itu melayani. Dia bukan sosok priyayi yang memiliki meminta dilayani secara feodal. Hal itu kemungkinan besar berelasi dengan pengalaman hidupnya yang merintis dari bawah, juga lahir dari kalangan biasa.Â
Dari segi latar belakang, Jokowi bukan politisi yang aji mumpung. Dia membangun semuanya dari bawah. Dia juga bukan berasal dari anak seorang konglomerat ataupun elit politik sebelumnya. Karenanya ini yang membedakan pendekatannya dalam berpolitik.
Tanpa modal kekayaan, modal keturunan, juga modal popularitas, nama Jokowi bisa melejit ke tataran politisi papan atas Indonesia. Hanya satu yang bisa "dijualnya" yakni kinerja, prestasi, dan optimisme.
Siapa sangka seorang pengusaha mebel yang 10 tahun lalu masih menjadi Walikota, tetiba sekarang menjadi Presiden RI. Bahkan kemungkinan besar akan lanjut ke periode kedua. Tanpa ketiga kata di atas (kerja, prestasi, dan optimisme), atau hanya mengandalkan politik pencitraan, mustahil semuanya bisa terwujud.
Kita seyogianya harus 'fair' dalam menilai sesuatu. Adil sejak dalam pikiran. Tak bisa semuanya itu digebyah uyah menurut penilaian kita yang kadang tak sesuai dengan realitas.
Penilaian yang adil itu yang akan mengarahkan kita pada kejujuran. Tentu, semuanya pasti akan setuju dengan kata ini.