Mohon tunggu...
Amelia Susanti
Amelia Susanti Mohon Tunggu... Penulis - Pecandu Kata

Talang rasaku hampir penuh, mari bantu mewadah rasa bersamaku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengingat Bahagia dari Sebuah Dekap yang [Pernah] Ada

19 November 2019   09:29 Diperbarui: 19 November 2019   09:31 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Merindu dengan segala penghargaan pada titik temu adalah satu-satunya cara bahagia menghampiri sebuah proses tentang penantian panjang. Namun, bukan pada diri seorang Aku.

*

 Pada Empat tahun silam, beberapa tenaga medis dari ruangan berhamburan, berebut untuk saling mengatakan bahwa perempuan paruh baya yang sangat kukenali bahkan hafal air wajahnya di harihariku itu sudah tak lagi ada.

Tampak ayah dan kakakku mereka mendekap jasad ibuku, mereka terus mengaliri kesedihan, tanda bahwa cinta pernah dan masih tumbuh menyelami semua ruang hingga dalam.

Dan aku?

Aku tak berani mendekat, dari garis pintu ruangan , aku hanya mampu menatap wajah beliau dengan lekat. Ada senyum yang menyimpul disana, diwajahnya. Tenang. Seperti itu aku melihatnya. Kau tahu? Aku merasakan ada sesuatu yang hilang, yang sebelumnya seperti mengganjal sesak di dadaku. Aku tak menangis, tidak. Sebab, jauh sebelum beliau tiada, bulir-bulir air mataku tak pernah absen membanjiri dan basah pada pelabuhan tempat dimana aku mengistirahatkan tubuhku diwaktu gelap, tanpa sepengetahuan beliau tentunya.

Aku bukan berarti bahagia atas kehilangan. Namun, Aku bahagia menerima cara Tuhan menyudahi semua rasa sakit yang beliau rasakan. Melihat tak ada lagi jarum-jarum besar dengan ukuran yang sama seperti ujung bolpoin besarnya, yang beliau lahap di setiap dua kalinya dalam seminggu. Yang sesekali tak jarang aku melihat beliau menahan rasa sakit acap kali suster mulai melayangkan jarum tersebut. Bisa dibayangkan.

**

Dalam hari-hariku tanpa beliau, Aku seolah belajar, belajar mengenal bahagia. Bahagia yang tak sesederhana orang rasakan.

Dalam ketiadaannya, Aku merasa selalu ada sosok beliau disisiku, bahkan sampai detik ini ketika ku mengingatnya. Aku tak pernah merasa kehilangan. Entah, atau karena aku terlalu meletakkan sosok beliau disini , dibenak hati.

Mengingat air mukanya ketika ku sepulang pergi, bagaimana beliau menyambut seorang gadis yang selalu saja dianggapnya sebagai "si gendok, anak kecil ibuk" [red: gendok atau disebut gendo' adalah panggilan kesayangan dari orang tua yang berasal dari jawa untuk anak perempuannya].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun