Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Bersahabat dengan Perubahan

30 April 2024   11:46 Diperbarui: 30 April 2024   14:34 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat Anda mengemudi di jalan raya, hal apa yang sering membuat Anda merasakan senang, terhibur, atau bahagia? Mendengarkan radio? Menonton podcast? Mencium parfum mobil?

Bagian paling menyenangkan yang biasanya sering saya lakukan ketika saya mengemudi adalah mengendurkan pegangan kemudia untuk beberapa detik saat melintasi tikungan, atau saat memutar arah kendaraan, atau saat meniti jalanan cadas. 

Dalam posisi ini biasanya saya mengendurkan kemudi, "membiarkan" setir mengemudikan dirinya sendiri mengikuti kontur jalan yang dilalui, sampai kemudian kembali sendiri ke dalam posisi normal.

Pun sebaliknya, jika saya justru menggenggam setir kemudinya erat-erat, yang saya rasakan justru setir kemudi menjadi kaku dan keras, alih-alih terdengar bunyi "klik". Semakin erat digenggam, semakin terasa kaku setir digerakkan, dan semakin tidak nyaman pergerakan roda yang dirasakan.

Sampai di sini semoga teman-teman paham, bahwa dalam hidup, kita kadang perlu membiarkan dunia di sekitar kita hadir dengan cara mereka, bahkan tanpa harus disertai keterlibatan kita, sampai kemudian kelak, kehadiran mereka itu akan kembali menuntun kita ke situasi sebelumnya atau justru ke situasi baru yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya.

Adalah Marissa Mayer, sang eksekutif berpengaruh di salah satu raksasa teknologi Silicon Valley, Google. Mayer lahir pada tahun 1975 di sebuah kota kecil di Wisconsin bernama Wausau. 


Ayahnya adalah seorang insinyur dan ibunya adalah seorang guru seni. Mayer pernah menggambarkan versi masa kecil dirinya sebagai sangat pemalu. Sejak awal, Mayer mengembangkan bakatnya di bidang matematika dan sains.

Dikutip dari businessinsider.com, hebatnya, Mayer pernah mendaftar ke 10 kampus, tiga di antaranya adalah Harvard, Yale, dan Stanford, dan diterima di kesepuluh sekolah tersebut. 

Dia akhirnya memilih untuk kuliah di Stanford, tempat dia pertama kali mengambil kursus prakedokteran dengan harapan menjadi dokter otak. Namun, perspektif hidupnya berubah setelah mengikuti kelas pengantar ilmu komputer yang disebut CS105. 

Hal ini membawanya ke jurusan sistem simbolik, jurusan Stanford yang terkenal yang alumninya termasuk salah satu pendiri LinkedIn, Reid Hoffman, dan salah satu pendiri Instagram, Mike Krieger.

Pada saat Mayer lulus pada tahun 1999, Mayer sudah mendapatkan 12 tawaran pekerjaan. Tawaran terakhir datang dari Google, sebuah startup kecil pada saat itu dengan kurang dari 20 karyawan. 

Selama dua tahun pertama Mayer di Google, Mayer bekerja 100 jam seminggu secara teratur sebagai programmer. Dia juga terus mengajar di Stanford selama beberapa tahun pertama dan harus menjalani hidup di lingkungan yang sulit dan hanya membutuhkan empat jam tidur setiap malam. namun, kerja kerasnya membuahkan hasil. 

Mayer dengan cepat naik pangkat di Google dari pegawai paruh waktu, manajer, hingga wakil presiden dan dipuji atas kesuksesan mesin pencari Google, serta produk-produk seperti Gmail, Google Maps, dan Google News.

Ketika Google go public pada tahun 2004, Mayer menjadi kaya dalam sekejap. Dia membeli penthouse suite senilai 5 juta dollar Amerika yang dia tinggali di Four Seasons di San Francisco, dan rumah lain yang lebih dekat dengan kampus Google Mountain View. 

Mayer pun menjadi bagian dari komunitas sosial kelas atas di San Francisco dan bahkan pernah menjadi tuan rumah penggalangan dana untuk Partai Demokrat di rumahnya pada tahun 2010.

Namun seiring kejayaan Google, rasa frustrasi juga semakin meningkat di lingkungan internal perusahaan. Amit Singhal, sosok di balik algoritma yang menggerakkan mesin pencari, tidak cocok dengan gaya kepemimpinan Mayer, dan langsung menemui Larry Page untuk memintanya mengeluarkan Mayer dari tim pencari. Terlepas Marissa Mayer kemudian hengkang ke sang kompetitor Yahoo! yang disebabkan adanya permintaan eksekutif Yahoo! atau disebabkan disingkirkannya Mayer dari Google, adalah fakta tak terbantahkan bahwa dalam masa kepemimpinannya, Marissa harus berhadapan dengan orang-orang yang tidak suka dengan cara kepemimpinannya.

Dan uniknya, bukannya melawan, Mayer justru meneyelaras dengan arus perubahan sambil tetap fokus pada kekuatan inti yang dimilikinya; teknologi dan media. Mayer rela dipindahkan ke tim underdog yang mengelola Google Maps dan produk lokal. Meskipun dia masih menjadi salah satu eksekutif puncak Google, hal itu dipandang sebagai penurunan pangkat. Mayer tidak lagi bertanggung jawab atas produk Google yang paling menguntungkan dan menghasilkan uang.

Dan meski kemudian akhirnya Mayer benar-benar kehilangan pekerjaannya di Google, ia masih dapat melanjutkan pengaruh dan kekuatan inti yang dimilikinya di perusahaan yang berbeda, Yahoo!. Dan seolah mengulang hal yang sama, di Yahoo! Mayer kembali dipuji karena secara drastis meningkatkan beberapa desain produk Yahoo! dan lalu lintas ke aplikasi intinya. Dia melakukan serangkaian reformasi untuk mengubah budaya internal di Yahoo!, membayar utang perusahaan, dan mengembalikan semangat perusahaan yang sedang melemah.

Teman-teman, di akhir sesi ini perlu saya sampaikan bahwa meskipun takdir berasal dari Tuhan, tetapi nasib tetap berada di tangan manusia. Orang-orang besar hanya berfokus pada "gagasan-gagasan besar" dan tangguh untuk bersahabat dengan rintang-rintangan kecil yang menghampiri. Mereka menunggu, mengikuti, melihat apa yang akan terjadi, dan terus fokus memberdayakan kemampuan inti yang dimiliki.

Seakan mewarisi cara berpikir Marissa Mayer, sungguh bijak ungkapan yang disampaikan oleh Ketua Umum PSSI Erick Thohir di ruang ganti timnas Indonesia usai mereka kalah dari Uzbekistan di ajang Piala AFC U-23 2024, “Kalau saya maunya satu game kita final. Artinya kita sudah lolos Olimpiade. Tapi tadi ini ada game kedua yang penting, yang memastikan kita juga lolos Olimpiade. Tempat ketiga. Kita mau nyerah atau mau fight back? Are we fighting back or giving up? If we giving up, we stop here. Ayo come on. Masih ada ayo. Kita percaya kalian. Kalian bisa. Pak Menpora di sini. Presiden nonton kalian. Seluruh rakyat Indonesia nonton kalian. Kasih lihat kita bangsa yang kuat nggak bisa diinjak-injak. Jangan ngeluh. Kita fight back. The minister is here. Presiden is here. All Indonesian have been watching us and support us. Show them we are strong and we can fight back. Come on.”

Kesuksesan itu hanya sementara. Pun juga dengan kegagalan dan rasa sakit juga tidak akan berlangsung selamanya. Belajar dari Marissa Mayer, saat sesuatu terjadi dalam kehidupan kita, cara terindah untuk menghadapinya adalah dengan menikmatinya. Jadi perlukah kita mengeluh, mengumpat, menekan klakson, alih-alih menodongkan senjata untuk memamerkan kekuatan kita hanya karena seseorang telah menyerobot antrean kendaraan kita di jalan raya? Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Salah satu kunci kebahagiaan itu adalah tidak membenci orang yang telah menzalimi kita.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun