Mohon tunggu...
Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro Mohon Tunggu... Freelancer - Menuliskan isi pikiran, bukan isi hati

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM 2018, tertarik pada isu-isu politik dan keamanan internasional, kedirgantaraan, militer, dan eksplorasi luar angkasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"F-22 Raptor" dan Mahalnya Proyek Pertahanan AS

3 Januari 2019   23:41 Diperbarui: 4 Januari 2019   01:29 1646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Amerika Serikat sebagai negeri adidaya dunia memiliki sistem pertahanan dengan alutsista canggih. Meskipun Perang Dingin telah usai, Negeri Paman Sam tak henti-hentinya mendirikan proyek pertahanan dengan biaya selangit. 

Sebaliknya, Rusia sebagai pesaing utama AS saat ini masih terseok-seok dalam pengembangan alutsista udara usai kekalahannya pada Perang Dingin dan cenderung menggunakan alutsista bekas AU Uni Soviet yang kebanyakan dianggap masih 'layak terbang'. Tingginya biaya proyek pertahanan AS dapat terlihat dari pengembangan F-22 Raptor, salah satu pesawat tempur termahal di dunia.

Pengembangan F-22 Raptor sebenarnya sudah amat terlambat. Meskipun idenya sudah dirancang sejak awal 1980an guna mendukung superioritas udara AU AS sekaligus menghadapi penempur-penempur canggih Uni Soviet macam Sukhoi Su-27, Su-30, dan MiG-29, F-22 baru mengudara ketika Perang Dingin usai. Desain dan komponennya yang rumit membuat perancangan pesawat ini membutuhkan waktu hingga belasan tahun sebelum mengudara.

Pada tahun 1981, AU AS menginginkan pesawat tempur baru yang berteknologi siluman bertajuk ATF (Advanced Tactical Fighter) yang tidak terdeteksi radar sekaligus berteknologi digital, karena armada F-15 dan F-16 yang saat itu sudah memperkuat AU AS dianggap masih kurang. Apalagi, Uni Soviet dengan Sukhoi dan MiG-nya sudah mengembangkan berbagai pesawat tempur superioritas udara dengan teknologi digital. Belum lagi, berbagai radar canggih Uni Soviet yg mampu mendeteksi target hingga ratusan kilometer jauhnya. 

Dua pasang perusahaan, Lockheed Martin-Boeing dan Northrop-McDonnell Douglas mengajukan rancangan prototipe pesawat mereka, yang kemudian dinamai YF-22 dan YF-23 pada Oktober 1986.

A. Butler, dalam jurnal Aviation Week edisi Desember 2011 menyatakan bahwa  kedua prototipe hampir identik dengan sedikit perbedaan pada struktur sayap. YF-22 dinilai lebih lincah dalam bermanuver, sementara YF-23 unggul dalam kecepatan dan jarak tempuh. 

Setelah melalui serangkaian uji terbang dan uji tempur, pada 23 April 1991, AU AS memutuskan untuk memilih YF-22 sebagai prototipe yang selanjutnya akan dikembangkan dan menjadi armada baru AU AS, dalam hal ini, Lockheed Martin dan Boeing menjadi pemenang dalam 'kompetisi' kali ini.

Foto: f22fighter.com
Foto: f22fighter.com
Kedua perusahaan tersebut menyadari bahwa desain YF-22 memiliki banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Mereka memulai dengan mendesain ulang sayap untuk meningkatkan daya angkat. 

Selain itu, sirip dan ekor pesawat juga dikoreksi. Jumlah komponen yang jauh lebih banyak dari rancangan jet tempur sebelumnya serta fitur-fitur digital berteknologi tinggi lagi-lagi menjadi kendala. 

Pesawat F-22 pertama baru dinyatakan selesai dibuat pada April 1997. Padahal, Perang Dingin sudah berakhir enam tahun sebelumnya dan AS seolah menjadi adidaya tunggal. Sudah tak ada musuh berarti yang harus dihadapi oleh AS. Selain itu, anggaran pengembangannya juga membengkak hingga mencapai 66.7 miliar dolar AS pada 1997.

Mahalnya biaya pengembangan F-22 tentu membuat harga per unit pesawat tempur ini meroket. Di atas kertas, Departemen Pertahanan AS menyatakan harga F-22 per unitnya 250 juta dolar AS. 

Namun kenyataannya, harga F-22 melonjak hingga 361 juta dolar AS pada 2006. Akibatnya, AU AS yang pada 1994 menyatakan akan membeli 700-750 F-22 harus menguranginya menjadi 660 unit pada 1995, kemudian menyusut menjadi 339 unit. Hal ini disebabkan penyunatan anggaran militer AS oleh Menteri Pertahanan Dick Cheney. Ia menyatakan bahwa pasca Perang Dingin, sektor pertahanan tak lagi menjadi prioritas. Kenyataannya, hanya 181 pesawat yang dikirim kepada AU AS hingga 2007.

Foto: f22fighter.com
Foto: f22fighter.com
Memang, meskipun biayanya cukup mencekik, berbagai fitur berteknologi tinggi membuat pesawat ini dinilai layak disebut sebagai "pesawat tempur generasi kelima", dengan ciri utamanya yaitu sulit dideteksi oleh radar (siluman), mampu mendeteksi target dengan radar digital hingga ratusan kilometer, dan kemampuan untuk tersinkronisasi dengan elemen tempur lain, baik di udara, laut, maupun darat. F-22 juga dapat memikul berbagai jenis rudal dan bom terbaru AU AS serta dapat melakukan berbagai misi, seperti superioritas udara, penyergapan, serbuan udara, dan serangan udara ke darat.

Performa F-22 juga cukup memuaskan. Mesin turbofan Pratt & Whitney F119 memiliki fitur supercruise, membuat pesawat dapat melaju pada kecepatan supersonik tanpa menggunakan afterburner. Hal ini menyebabkan F-22 sulit dilacak oleh rudal pencari panas karena rudal jenis ini biasanya mengincar pesawat target dari semburan api mesin jet (afterburner). Tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi F-22, mengingat pesawat ini memang merupakan pesawat 'siluman' yang memiliki kemampuan tempur senyap.

Keunggulan-keunggulan di atas membuat F-22 Raptor tak dapat serta-merta disebut sebagai produk gagal, meskipun jumlah pesanannya terus menurun. Kecanggihan teknologinya juga membuat pesawat tempur tersebut tidak diekspor ke negara manapun karena F-22 dianggap sebagai "aset negara" yang harus dijaga dengan baik agar tak jatuh ke tangan negara lain, yang dapat berpotensi menjadi musuh AS di kemudian hari. 

Nyatanya, saat ini sudah ada sejumlah negara yang turut merancang pesawat tempur generasi kelima lainnya dengan kemampuan dan kecanggihan teknologi setara dengan F-22, sebut saja Sukhoi Su-57/PAK FA (Rusia), Chengdu J-20, dan Shenyang J-31 (keduanya Republik Rakyat Tiongkok). Selain itu, negara-negara lainnya seperti Turki, India, Korea Selatan, dan Jepang juga memiliki ketertarikan untuk mengembangkan pesawat serupa.

Foto: f22fighter.com
Foto: f22fighter.com
Meskipun begitu, tak banyak Raptor yang benar-benar masuk dinas pertempuran. Sejak masuk dinas AU AS pada 2005, F-22 baru terjun dalam misi di Suriah pada 2015-18, terkait dengan usaha AS dalam membantu pasukan oposisi Suriah sekaligus melawan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). 

Selain itu, kebanyakan F-22 hanya terlibat dalam misi latihan atau pertahanan nasional. F-22 terlihat beberapa kali mencegat dan memergoki pengebom Tu-95 dan Tu-160 milik Rusia yang mencoba memasuki wilayah Alaska. F-22 juga terlibat dalam latihan akbar yang digelar militer Korea Selatan yang belakangan dianggap Korea Utara sebagai tindakan provokatif.

Foto: f22fighter.com
Foto: f22fighter.com
Selain alasan biaya, alasan politis ditengarai menyebabkan lambatnya pengembangan pesawat ini. Memasuki tahun 2007, menhan AS, Robert Gates menyatakan ketidaksetujuannya dalam program F-22. Menurutnya, AS mesti fokus dalam pengembangan Joint Strike Fighter (JSF), suatu program perancangan pesawat multiperan baru sebagai pengganti F-16 yang sudah dicanangkan sejak 2001. 

JSF memiliki teknologi yang sama dengan F-22 dengan biaya yang jauh lebih rendah. Diyakini, ada perseteruan di Departemen Pertahanan AS yang juga turut berkontribusi dalam penghentian pengembangan F-22. Akhirnya, pada 2011 F-22 resmi berhenti diproduksi.

Program F-22 raptor yang berteknologi tinggi namun terkesan mubazir menjadi bukti bahwa berbagai proyek pertahanan AS membutuhkan biaya yang teramat besar, namun tak semua proyek tersebut berhasil dan menguntungkan negara. 

Keinginan militer AS dalam mengejar kemampuan tempur dan penggunaan teknologi canggih kadang menjadi bumerang. Anggaran negara terkuras, sementara program yang dikembangkan tak benar-benar menguntungkan bahkan membuat negara tekor. 

Sebut saja program kapal induk nuklir USS Enterprise yang digadang-gadang menjadi kapal induk tercanggih pada masanya, atau pengembangan RAH-66 Comanche yang disebut akan menggantikan AH-64 Apache. Program-program tersebut, meskipun terlihat menjanjikan akhirnya mandek di tengah jalan.

Nampaknya, pemerintah AS memang harus lebih selektif dalam menggunakan anggaran mereka. Tak selamanya program-program pertahanan terbaru dengan teknologi tercanggih menjadi pilihan terbaik. 

Justru banyak alutsista lama yang masih dapat dikembangkan untuk mengikuti perkembangan zaman, seperti B-52, F-15, atau F-16. Bahkan deretan mesin tempur generasi Perang Dingin itu masih lebih berperan dalam berbagai palagan pertempuran dibanding beberapa generasi terbaru, membuatnya menghemat anggaran negara secara signifikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun