Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sejarah yang Langgeng di Chinatown

24 September 2017   10:02 Diperbarui: 24 September 2017   10:13 1594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Chinatown, Singapura (Foto Ahyar ros)

Terik di Chinatown menguap begitu The Time of Tea yang kami cari terlihat di Mosque Street Beijean Ong sedang mengarahkan langkah-langkah pada dua murid yang mengikuti kursus Chanoyu (upacara minum teh ala Jepang) ketika kami masuk ke butik teh yang mengesankan itu. Jadi, kami dilayani Mei, asistennya. Mei pun seperti melakukan upacara ketika menyiapkan Yellow Tea pilihan saya dan Flora Tea beraroma melati pilihan Asteria dengan cara seduh sesuai jenis tehnya. Bersama Mia teman perjalanan blusukan mencari hal-hal unik dari julukan Negeri Singa ini.

"Yellow tea yang bercerita rasa seperti bunga ini menenangkan. Flora tea meredakan rasa panas". Kata Mei ketika meletakkan teko dan gelas kecil dihadapan kami.  Dan kami pun memusatkan perhatian ketika menghirup the langka sebelum tertambat pada "latihan upacara" yang dipandu master tea Beijean Ong. Mei juga menyuguhkan kue manis sebagai teman minuman teh. Meski kami belum makan siang, rasanya kami jauh lebih segar untuk menjelajahi percinaan yang sejarahnya kami raup di Chinatown Heritage Center.

Museum tiga lantai ini menarik sekali. Bukan sekedar menyuguhkan data dan benda dalam kotak kaca seperti umumnya, tapi membawa kita pada suasana hidup yang dimulai dari tahun 1800-an ketika warga China tiba di Singapura, wilayah Nangyang (Asia Tenggara) yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Ruang demi ruang dilengkapi aspek kehidupan dapur, kamar mandi, kamar tidur, ragam profesi (kuli, tukang jahit, penjual sepatu, peramal) lengkap dengan gemercik air dan celoteh sesuai kegiatan dari masa perintisan sampai masa jaya.

Ruas jalan di Chinatown (Foto Ahyar ros)
Ruas jalan di Chinatown (Foto Ahyar ros)
Suasana yang berhasil dihidupkan ini kadang bisa membangkitkan bulu kuduk.  Jadi, akan lebih nyaman jika tidak sendirian menikmati ruang demi ruang. Kami tiba di Mesjid Jamae yang dibangun imigran Muslim dari India  selatan lebih dari 170 tahun lalu. Sebentar  saja kami di sini untuk selanjutnya beranjak sekitar 50 meter ke Sri Mariamman Temple. Namanya diam dari pelindung penyakit, tapi kuil Hindu bergaya Dravidian yang diirikan pada tahun 1827 ini kadang disebut "kuil sapi" karena patung sapi menghiasi temboknya.

Kami suka dengan pengaturan ibadah-ibadah yang terbuka bagi wisatawan, bebas terbatas.  Melepas alas kaki wajib di tempat ibada. Ada bagian tertentu yang sebaiknya tak dimasuki. Di kuil ini, kenakan biaya bagi pembawa kamera. Ketika selepas senja kami kembali ke Chinatown dan menegok kembali kuil ini, tiada biaya lagi bagi penggunaan kamera. Lampu-lampu itu membuat kuil menampilkan kecantikan berbeda. Masih dalam suasana Deepavali, kami ikut menyaksikan upacara sembahyang semarak dengan terompet.

Kami berkenalan dengan Adhya, ibu muda dengan balita kembar, warga Bali yang menikah dengan warga lokal. Kami sempatkan diri berbelanja di bazaar cendramata. Malam di Chinatown kami tutup dengan santap di Pujasera terbuka. Agak bergegas kami kami ke MRT Chinatown, mengejar ke kampung Bugis. Hari yang cukup meleahkan, tapi memuaskan jiwa raga. 

Selamat berakhir pekan.. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun