Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Profesionalisme Sesuka Hati

14 Juli 2019   21:29 Diperbarui: 14 Juli 2019   22:32 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dengan SPK, urusan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) tidaklah bisa dilakukan secara semena-mena. Paling tidak, ada surat peringatan (SP), bahkan satu sampai tiga. SP pun berhubungan dengan siapa atasan saya, karena divisi HRD tidak mungkin memberikan SP secara mendadak dengan SP3 alias PHK tanpa sepengetahuan atasan saya.

Dan dengan SPK, urusan PHK justru bisa menjadi "senjata makan tuan" bagi sebuah perusahaan, karena perihal ketenagakerjaan berkaitan juga dengan instansi pemerintah. Pokoknya, legalitas kesepakatan "hitam-putih" turut melindungi tenaga kerja dari perlakuan-perlakuan tidak senonoh. 

Berbeda dengan nasib Demun di sekolah swasta yang berisi guru-guru cerdas dan sebagian lulusan luar negeri itu. Secara struktural, Demun tidak mengetahui siapa atasannya. Sebagian guru bisa seenaknya menyuruh atau memerintahkan Demun, bahkan melebihi batas tugas, semisal membawa kunci pintu ruangan. Apakah mentang-mentang Demun hanya seorang petugas kebersihan di sekolah swasta yang "berbahasa Inggris" itu?

Meskipun sekolah berada dalam masa libur panjang, Demun harus bersiaga sepanjang hari, karena selalu ada perintah mendadak untuk membersihkan ini-itu tanpa pertimbangan waktu. Padahal, kata Demun, semula dia hanya bekerja pada waktu malam, dan setiap pagi guru-guru melihat semua ruang dalam kondisi bersih.

Ya, Demun juga tidak mengetahui uraian pekerjaan (job description) sebagai tenaga kebersihan, bahkan satu-satunya di situ. Tugasnya menyangkut seluruh ruang, baik ruang luar maupun ruang dalam. Pokoknya, semua harus bersih. Pokoknya, Demun harus bersiaga sepanjang hari.

Sudah sedemikian mendebar dalam keseharian, dari pengakuan Demun, gaji per bulannya tidak sampai Rp700.000. Padahal lagi, Demun berijazah sarjana Strata-1. Aduhai, Demun yang sarjana!

Nah, bagaimana persoalan sebenarnya, kok Demun bakal di-PHK begitu, ya?

Apakah bisa dengan semudah itu mereka mem-PHK tenaga kerja, meskipun ketua yayasan beserta jajarannya merupakan lulusan luar negeri, dan tidak asing dengan istilah "profesional" atau "profesionalisme"?

Satu hal lagi yang mengusik pikiran saya, yaitu tanpa aspek legalitas semacam SPK maka pihak yayasan leluasa melakukan PHK tanpa perlu repot berurusan dengan instansi pemerintah di bidang ketenagakerjaan. Waduh, kasihan sekali jika ada guru yang kemudian di-PHK dengan aneka alasan dari pihak yayasan. Pendidikan macam apa ini yang sedang dipraktikkan oleh sebuah lembaga pendidikan dalam realitas pendidikan yang sebenarnya?

Ah, terserah sajalah. Semua itu bukanlah urusan saya alias "bodo amat!". Hanya saja saya belum bisa menerima kemurungan Demun pada Minggu yang, kata orang Nasrani, merupakan hari istirahat dan penuh suka cita dalam dentang lonceng gereja yang banyak terdapat di Kota Kasih ini.  

*******
Kupang, 14 Juli 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun