Mohon tunggu...
Afriyanto Sikumbang
Afriyanto Sikumbang Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Belajar mensyukuri apa yang kita miliki

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Driver Ojol, Nasibmu Kini...

17 Februari 2020   23:08 Diperbarui: 17 Februari 2020   23:07 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca uraian di situs Gojek, gojek.com, seakan membawa kita ke dalam suasana yang sangat "indah" dan "manis". 

Mengutip hasil riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia tahun 2018, Gojek menyebutkan bahwa perusahaan aplikasi tersebut telah menyumbang sekitar US$ 3 miliar (setara Rp44,2 triliun) bagi perekonomian Indonesia pada akhir tahun 2018.

Dari jumlah tersebut, layanan Gofood menjadi penyumbang terbesar yaitu Rp 18 triliun, disusul oleh Goride Rp 16,5 triliun, Gocar Rp 8,5 triliun, dan Golife Rp 1,2 triliun.

Juga dijelaskan bahwa kualitas hidup mitra driver telah meningkat 100% sejak bergabung dengan Gojek. Mitra driver Gojek percaya bahwa dengan skema insentif dan kebijakan yang diterapkan Gojek, mereka dapat menyejahterakan keluarga mereka. Sebagian besar dari mereka mengklaim bahwa mereka sekarang dapat menyekolahkan anaknya.

Betul. Driver ojek online (ojol), baik Gojek maupun Grab, memang sangat sejahtera. Mereka bisa bawa pulang uang hingga Rp 10 juta per bulan. Mereka kewalahan memenuhi order dari calon penumpang. Pesanan terus masuk melalui ponsel mereka, padahal mereka masih membawa penumpang.

Nyaris tidak ada waktu untuk berleha-leha. Selesai menurunkan penumpang, langsung tancap gas lagi membawa penumpang baru. Dan begitulah seterusnya. Pokoknya, benar-benar nikmat menjadi driver ojol. 

Tidak heran banyak yang melamar menjadi drover ojol. Bahkan banyak pula karyawan yang rela resign dari pekerjaannya dan memilih menjadi driver ojol, karena tergiur dengan penghasilan yang lebih besar.

Tapi itu dulu, sekitar tahun 2015---2017. Sejak saat itu sampai sekarang, penghasilan driver ojol terus menurun. Tahun lalu saja sudah banyak yang mengeluh. Mereka rata-rata hanya bisa membawa pulang uang Rp 3 juta hingga Rp 4,5 juta per bulan, setara dengan upah minimum provinsi (UMP) di DKI Jakarta.

Tidak hanya soal pendapatan yang menurun, mereka juga mengeluhkan semakin tingginya biaya pemeliharaan (service) kendaraan akibat naiknya harga suku cadang dan biaya jasa montir. Belum lagi kondisi kendaraan yang makin rewel termakan usia dan penyusutan. Risiko kecelakaan juga mengintai setiap saat. Sangat kontradiktif.

Dulu, jumlah driver ojol masih sedikit. Sementara di sisi lain, jumlah pengguna aplikasi ojol terus meningkat. Masyarakat merasa sangat terbantu dengan kehadiran ojol. Selain tarifnya yang lebih murah dari ojek pangkalan (opang), pelayanan ojol juga lebih baik. Akibatnya, terjadi ekses demand (jumlah permintaan/order lebih banyak dari penawaran/jumlah driver ojol).

Sekarang, kondisinya berbalik. Jumlah ojol begitu banyak, melebihi orderan. Akibatnya, order yang masuk jadi berkurang, yang berdampak pada berkurangnya penghasilan driver. 

Ini karena perusahaan aplikasi (aplikator) terus menerus merekrut driver baru tanpa terkendali. Maka, terjadilah over supply di jasa ojol ini. Hingga kini belum ada data valid mengenai jumlah driver ojol. 

Pihak aplikator pun tak mau membuka data tersebut. Namun Presidium Gabungan Aksi Roda Dua Indonesia Igun Wicaksono memperkirakan jumlahnya hingga akhir 2019 mencapai 2,5 juta orang yang tersebar di seluruh Indonesia, di mana 50% di antaranya berada di wilayah Jabodetabek.

Salah satu indikator terjadinya kelebihan driver ojol ini bisa dilihat dari banyaknya driver yang nongkrong atau ngetem menunggu penumpang. Sebagian di antaranya sudah mendapatkan order, sebagian lagi sedang menunggu order. Dulu, penumpang yang menunggu ojol. Kini, justru ojol yang menunggu penumpang.

Nasib driver ojol makin diperparah dengan sikap aplikator yang bisa men-suspend secara sepihak, hanya lantaran ada komplain dari konsumen. Dalam hal ini, posisi driver sangat lemah, mereka tidak punya kesempatan untuk membela diri.

Di tengah situasi kelebihan ojol ini, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) justru berencana menaikkan tarif ojol dari Rp 2.000,-/Km menjadi Rp 2.500,-/Km. Wah, ini tentu bisa berdampak buruk bagi kelangsungan pekerjaan driver ojol itu sendiri. 

Masyarakat bisa beralih dari ojol ke moda transportasi lain yang lebih murah, seperti angkot dan Transjakarta. Oleh karena itu, kenaikan tarif ojol tidak serta merta akan meningkatkan penghasilan driver. Kemungkinan terburuk yang terjadi adalah, penghasilannya justru makin menurun.

Lalu ada dampaknya terhadap aplikator? Mereka tentu saja juga rugi. Gojek misalnya, dari Rp 44,2 triliun penghasilannya selama 2018---seperti hasil riset LD FEB-UI di atas, 78% di antaranya berasal dari Gofood dan Goride yang notabene dilayani oleh para driver ojol tersebut.

Dari uraian dan kondisi di atas, maka akan timbul pertanyaan: masih menarikkah pekerjaan sebagai driver ojol?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun