Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Supaya Pertanian di Indonesia "Awet Muda"

12 Mei 2019   11:11 Diperbarui: 15 Mei 2019   10:59 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sepetak sawah yang bertahan di tengah pembangunan (sumber: dokumentasi Adica)

Berkat kehadiran startup demikian, petani tak hanya mudah mengakses modal, tetapi juga dapat memangkas rantai distribusi. Kalau sebelumnya produk hasil pertanian mesti lewat beberapa tangan untuk sampai ke konsumen akhir, kini semua itu bisa diperpendek karena petani bisa langsung memasarkan produknya langsung ke masyarakat. Dengan demikian, harga jualnya jauh lebih tinggi daripada lewat tengkulak.

Hal lainnya yang bisa dilakukan adalah "menyekolahkan" para petani milenial. Pada Bulan April 2019, Kementerian Pertanian memberangkatkan 44 petani muda dari 13 provinsi untuk mengikuti Program Magang dengan Asosiasi Petani Jepang (JAEC). Kegiatan itu bertujuan menambah wawasan para petani muda tentang konsep pertanian modern, sehingga ketika kembali ke tanah air, mereka bisa menerapkannya langsung di pertanian masing-masing.

Salah satu petani muda yang berangkat adalah Tarmuji. Pemuda 22 tahun asal Tegal ini "terjun" ke dunia pertanian lantaran merasa prihatin terhadap kondisi pertanian di kampung halamannya yang susah beranjak dari "zona merah".

"Saya sering mengamati, kenapa hasil pertanian di Kabupaten Tegal khususnya orangtua saya tidak pernah maju. Banyak kendala di pupuk, hasil produksi sampai hasil panennya pun dijual murah," katanya, seperti dikutip dari Kumparan.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Tarmuji kemudian "banting stir" jadi petani. Pekerjaannya di Jakarta ditinggalkannya, dan kini ia berupaya memperbaiki kualitas pertanian di kampung halamannya dengan berguru ke Negeri Sakura selama 11 bulan.

Kegiatan ini merupakan upaya pemerintah untuk merintis generasi penerus di bidang pertanian. Kelak petani milenial seperti Tarmuji-lah yang akan melanjutkan kiprah para petani sebelumnya.

Solusi berikutnya ialah mempertahankan area pertanian. Hal ini tentu sulit dilakukan, terutama di perkotaan. Di Bekasi, misalnya, sudah jarang saya melihat petak-petak sawah. Kalau pun ada, sawah tadi sudah "dikepung" perumahan, seperti berikut ini.

sepetak sawah yang bertahan di tengah pembangunan (sumber: dokumentasi Adica)
sepetak sawah yang bertahan di tengah pembangunan (sumber: dokumentasi Adica)

Walaupun sekarang masih menghasilkan padi, belum tentu sawah tadi akan terus dipertahankan. Bisa saja, suatu saat, sawah tersebut akan dijual, dirombak, dan disulap jadi perumahan. 

Kalau sampai terjadi, hal itu tentu sangat disayangkan mengingat sawah tersebut berkontribusi memasok bahan pangan kepada masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, sawah-sawah yang tersisa di kota sebaiknya dipertahankan atau ditambah nilainya jadi agrowisata, supaya kehadirannya tidak hilang digerus pembangunan.

Hal lainnya ialah "menggelorakan" urban farming. Urban farming mungkin bisa menjadi solusi untuk membantu swasembada pangan masyarakat setempat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun