Malam sebelum tidur, aku mendekati Mas Hardi, berharap mau mencari solusi terbaik akan sikap Yadi yang tidak semakin dewasa.
"Hm ... Mas, boleh aku ngomong sesuatu? Ini tentang Yadi. Kupikir Mas Hardi 'kan juga paham, jadi aku nggak perlu banyak cerita ini itu," kataku cukup hati-hati takut menyinggung perasaan suami.
"Ya, dia itu sudah besar, tetapi sikapnya kurang dewasa. Harusnya 'kan seumuran dia sudah bekerja, mikir calon istri, dan harapannya ke depan. Namun, ini kok beda banget. Aku justru kasihan padamu jika diteror tiap hari. Kata-kataku juga nggak manjur di telinganya. Dia anggap angin lalu saja."
Diskusi antara aku dan suami tentang Yadi pun masih berlanjut meski malam sudah larut. Mataku sudah mulai protes. Beberapa kali aku menguap, dan ingin segera merebahkan diri. Bantal dan guling pun sudah memberikan isyarat.
 Belum ada kata sepakat untuk mengambil kebijakan tentang sikap Yadi. Bagaimana pun, Mas Hardi tetap ingin membantu adiknya, agar mampu bersikap lebih dewasa, karena umur juga makin merambat jauh.
Dari halaman rumah, tiba-tiba terdengar suara sebuah sepeda motor yang belum kukenal. Langkah kakinya terdengar nyaring saat menuju pintu rumah. Salam pun terdengar agak keras.
Aku dan Mas Hardi saling berpandangan. Ada sedikit rasa was-was saat ingin membukakan pintu rumah, karena waktu juga sudah larut malam. Akhirnya, Mas Hardi bangkit dari tempat tidur, menjawab salam, Â dan menuju pintu depan.
Setelah dibukakan, dua orang lelaki yang belum dikenal langsung memperkenalkan diri. Nada bicaranya cukup tegas. Dua lelaki asing itu mengabarkan bahwa Yadi kecelakaan di jalan Pemuda baru saja, sambil menunjukkan KTP milik adiknya.