Sejak awal menikah dengan Mas Hardi, kurasakan keanehan sikap Yadi, tetapi masih kupendam. Mas Hardi dua bersaudara dengan Yadi. Adik iparku mempunyai sifat yang  sangat bertolak belakang dengan kakaknya.
Mas Hardi tipe orang pendiam, dan cukup sabar, sangat berkebalikan dengan Yadi yang maunya sendiri, dan selalu merepotkan orang lain. Selain itu, sikap malasnya membuat aku dan Mas Hardi sudah kewalahan untuk menasihatinya. Kadang aku tidak habis pikir, mengapa Yadi harus hadir di kehidupan keluargaku?
Tidak lama kemudian, suara lelaki yang sering membuat masalah di keluargaku tidak terdengar lagi. Mungkin dia sudah pergi. Â Ada sedikit rasa bahagia menyelinap di hati. Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan berjingkat dan menuju kamar depan, memastikan Yadi sudah pergi.
Namun, kali ini dugaanku meleset. Kulihat sosok laki-laki itu malah  tiduran di sofa dengan kaki diangkat ke atas, disenderkan ke tembok, sambil membaca koran. Sesekali tangannya meraba makanan di dalam toples  yang berada di meja tamu. Makanan yang disediakan untuk tamu itu pun hampir ludes tak bersisa.
Beberapa koran tampak berantakan, dan tidak terlipat rapi. Kelakuannya yang selalu merepotkanku membuat emosi sedikit tersulut. Terpaksa sekali aku harus mengomentari kelakuannya yang sudah keterlaluan. Bukan hanya kali ini dia berulah, tetapi setiap datang ke rumah, hampir dipastikan masalah baru akan muncul.
Huh, payah! Bikin tensiku naik terus anak ini! Umpatku dalam hati.
Lama kuperhatikan laki-laki itu kok tidak ada perubahan sikap menjadi lebih baik. Mulutku terasa gatal untuk tidak berkomentar.
Sabar, Dew. Sabar menghadapi adik iparmu!
Daripada sakit hati, kutinggalkan Yadi di ruang itu sendirian. Aku hanya ingin menunjukkan pada Mas Hardi kelakuan adiknya yang kurang etis terhadap keluarga kakaknya.
Aku menuju kamar mandi dan membersihkan diri, berharap emosi dan luapan kemarahanku lebur dan lenyap bersama air kran yang memancar deras.
***