Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan dan Harapan

20 April 2021   23:02 Diperbarui: 20 April 2021   23:19 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Pak,  terus gimana ya, untuk biaya hidup kita sehar-hari nanti? Bapak kan juga belum bisa kerja seperti biasa, sementara anak-anak butuh biaya sekolah dan ini itu?" keluhku pada Mas Tarjo,  suamiku yang sudah satu bulan ini hanya tiduran di kamar karena belum dapat bergerak.

Mas Tarjo, lelaki yang berpostur tinggi,  kurus yang bekerja serabutan itu lima belas tahun yang lalu menikahiku. Dari perkawinank ini  lahirlah tiga anak. Satu perempuan dan dua laki-laki. Usia anakku yang sulung baru empat belas tahun, dua adiknya masih berumur sepuluh dan tujuh tahun.

Dulu, keluarga Mas Tarjo memang termasuk  mampu, meski tidak terlalu kaya. Pak Naryo, bapak Mas Tarjo termasuk orang yang memiliki beberapa lahan sawah dan pekarangan luas. Namun, karena Pak Naryo suka berjudi, harta itu pun lambat laun habis menjadi taruhan di meja judi.  Aku dijodohkan  oleh Ibu, dengan Mas Tarjo karena masih ada hubungan saudara, meski agak jauh.

Orang tuaku berharap dengan dijodohkan, kami sedikit banyak sudah mengenal kepribadian masing-masing, karena ada hubungan family, dan menghindari konflik keluarga yang kemungkinan muncul. Mas Tarjo mempunyai kepribadian yang cukup baik, dan berpenampilan sederhana.

Semenjak wabah covid melanda negeri ini, penghasilan Mas Tarjo pun ikut terpengaruh.  Tidak banyak orang yang meminta jasa tenaganya. Dengan demikian, ekonomi keluarga pun ikut miring. Kas bon di warung dan tetangga pun makin banyak. Keluhan anak-anak yang kelaparan membuatku tidak tega. Sebagai orang tua, aku dan Mas Tarjo berusaha untuk  dapat mencukupi kebutuhan mereka, tapi apa daya, kondisi belum berpihak.

Aku dan Mas Tarjo menempati rumah warisan orang tua yang hampir semua sisi rumah minta diganti. Mulai dari atap rumah yang rusak, genteng bocor, kayu keropos, serta dinding rumah mengelupas. Masih berderet kerusakan rumah bila ingin didaftar, tapi mau tidak mau aku pun harus bertahan di rumah yang makin lama aus dimakan usia.

Untuk makan sehari-hari saja bagi keluargaku cukup sulit, apalagi memikirkan nasib rumah yang jika diperbaiki membutuhkan biaya tidak sedikit. Kata orang, memperbaiki rumah itu marai mremen, kaya omah kobong. Memperbaiki rumah itu merembet pada bagian lain, seperti rumah terbakar.

Sejak awal Oktober ini, hujan begitu rajin menyapa, tidak mengenal waktu lagi. Siang, malam, pagi, jalan, tanah tampak selalu penuh air. Banyaknya curah hujan menyebabkan rumahku pun terimbas. Atap dan genting terlihat mengalirkan air hujan ke dalam rumah. Semua perabot rumah yang dapat menampung air pun mulai memenuhi ruangan berukuran delapan kali sepuluh meter itu. Ember, panci, ember lonjong bekas  tempat memandikan anakku yang bungsu, semua berjajar rapi. Rumah malah mirip kapal pecah.

"Pak, ternyata banyak genting yang bocor. Besuk jika nggak hujan, mbok dibenahi. Masa setiap kali hujan harus ambil ember, panci, untuk menampung air hujan agar tidak ke mana-mana," sungutku pagi itu saat membereskan pekerjaan di dapur.

Mas Tarjo hanya melirik mendengar ocehanku yang tanpa jeda. Dia kembali melanjutkan aktivitasnya mengelap sepeda ontelnya yang setia menemani sejak puluhan tahun lalu.

"Pak! Kok diam saja, sih? Mbok jawab, ya, begitu!"

"Hm ... ya nanti jika tidak hujan akan aku benahi, Bu. Ya harap maklum Bu, ini kan rumah kuno, jadi wajar jika banyak yang sudah rusak termasuk genting dan atapnya."

"Benar, lho, Pak. Benahi ya!"

Menjelang istirahat siang, Mas Tarjo  mencari sisa genting yang masih tersimpan di gudang. Dia bermaksud mengganti genting yang sudah pecah, lalu  mengambil ondho/tangga dari bambu yang tersimpan di belakang rumah. Alat ini  sering digunakan untuk memperbaiki genting rumah atau bagian rumah yang agak tinggi.

 Langit  saat itu tampak begitu mendung. Titik hujan pun sudah mulai menyapa. Tiba-tiba rintik hujan itu semakin deras. Dengan mengucap bismillah, Mas Tarjo mulai menginjakkan kaki ke masing-masing anak tangga, sambil membawa dua buah genting di tangannya.  Lelaki itu  mengamati  beberapa genting. Benar saja, beberapa genting   genting sudah retak bahkan  ada yang pecah.

Hm ... pantas saja, banyak bocor di sana sini, batinnya mengeluh.

Kulihat Mas Tarjo mulai mengamati  genting yang pecah. Aku pun mengambilkan air minum untuknya. Dari arah dapur aku mengingatkan Mas Tarjo.

"Hati-hati, Mas, licin, kemarin hujan lho."

Dengan cekatan, Mas Tarjo mengganti genteng bocor itu. Dia terbiasa mengerjakan pekerjaan seperti ini sendirian, tidak perlu mengeluarkan uang untuk upah   membayar tukang. Entah mengapa hatiku tiba-tiba saja merasa resah.

 Namun, tidak disangka, kayu tempatnya berpijak tiba-tiba saja patah, mungkin karena rapuh,  dan ... tahu-tahu kudengar suara seperti benda jatuh, tapi beberapa detik kemudian, terdengar erangan Mas Tarjo yang membuyarkan anganku.

Aku segera berlari mendekati Mas Tarjo.

Mas Tarjo terjatuh dari ketinggian kurang lebih tiga setengah meter, dalam posisi duduk. Lelaki itu mengerang kesakitan, aku pun bingung harus mencari bantuan.

 "Ya Allah, Mas, gimana ini?"

Aku hanya mondar-mandir karena kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya panik sekali.

Berbagai perasaan muncul begitu saja. Takut, ngeri, kasihan, dan bingung campur menjadi satu saat menyaksikan suamiku kesakitan. Sementara itu, di rumah juga tidak ada siapa pun,  hanya aku berdua dengan suami. Sempat terlintas aku minta bantuan ke tetangga, tapi semua rumah terlihat sepi.

Beruntung sekali, ada tetangga yang baru lewat, dan baik hati mengantarkan Mas Tarjo berobat saat itu juga dengan mobil pribadinya. Bersama hujan yang mulai deras, dan Guntur menggelegar, aku  mendampingi Mas Tarjo ke rumah sakit. Tidak kuasa aku mendengar keluhan sakitnya. Bulir bening menetes dari sudut netraku.

Hampir setengah bulan di rumah sakit, aku pun mulai berpikir, bagaimana melunasi biaya pengobatan di rumah sakit. Namun aku optimis, pasti ada biaya, entah bagaimana cara mendapatkannya.

Akhirnya Mas Tarjo pun harus kembali ke rumah. Aku berusaha untuk mencari pengobatan alternatif saja  karena banyak pertimbangan. Semua benda yang kumiliki sudah habis untuk biaya pengobatannya. Perhiasanku pun terpaksa aku jual untuk menyambung hidup dan pengobatan suamiku.

Kini, Mas Tarjo masih menggunakan kursi roda, tetapi belum mampu beraktivitas seperti biasa. Butuh waktu cukup lama untuk penyembuhannya. Satu yang aku perhatikan, akhir-akhir ini Mas Tarjo terlihat lebih banyak murung dan wajahnya tampak lebih tua. Warna perak di kepalanya makin merata.

Aku maklum, mungkin dirinya merasa kurang berharga di mata keluarga, karena sekarang menjadi lelaki yang lemah dan tidak berguna. Saat dia duduk sendiri di atas kursi rodanya kudekati dengan perlahan. Aku sebenarnya hanya ingin menghiburnya agar tetap tabah dan sabar mendapat cobaan berupa sakit. Namun apa yang kudapatkan? Dirinya seperti kerasukan setan. Tiba-tiba marah dan mengucapkan kata-kata kotor yang  tidak terkendali. Sempat kuingatkan dirinya agar beristigfar, tapi malah makin memuncak kemarahannya.

Aku menjadi takut saat berada di dekatnya. Mungkinkah dirinya depresi karena beban sakitnya? Psikologisnya sedikit terluka karena terlalu lama terbaring sakit tidak mampu menjadi kepala rumah tangga selayaknya?

Aku berlari ke kamar, dan menumpahkan segala resah di hati. Hanya kepada-Nya aku mampu mengeluhkan segala beban yang menghimpit. Satu yang aku yakin, Allah tidak mungkin menguji hamba-Nya melebihi kemampuannya. Kini, peran Mas Tarjo kuambil alih. Semampuku, tetap berdiri tegak demi masa depan anak-anak dan keluarga kecilku.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun