"Tungguma", dalam kehidupan masyarakat Makassar tumbuh untuk mengandalkan aksioma bahwa Kata "Tunggu" adalah Janji."
Bagi sebagian orang, karena paranoia atau keinginan untuk menghindari konflik, menggembar-gemborkan pengetahuan bahwa istilah "tungguma" dibangun secara sosial sebagai cara untuk menyatakan ketidaktahuan atau kepedulian tentang apa itu artinya disengaja.Â
Bagi kita semua warga masyarakat Sulawesi selatan, mengetahui bahwa perbedaan yang menyebabkan kita hidup dan mati dengan cara yang sangat berbeda berasal dari ilmu semu yang tidak rasional hanyalah penghinaan yang ditumpuk di atas luka-luka.
Kita semua berurusan dengan fiksi-fiksi yang menjadi dasar supremasi atas ketidaksepakatan terhadap sesuatu dan fantasi-fantasi yang bertujuan untuk merasionalisasi subordinasi semua orang dengan cara yang berbeda. Dokter dan perawat meyakinkan diri mereka sendiri bahwa pembangunan sosial tidak merasa lebih membutuhkan atau mentoleransi sedikit rasa sakiti.Â
Guru-guru sekolah dasar memuji bakat anak perempuan dan laki-laki dengan apresiasi lebih baik tanpa harus menyisakan luka pada murid mereka yang lain.Â
Meminjam bahasa dari permainan peran- bermain menjadi seorang panutan, artinya menggambarkan kepedulian dan empati sosial secara massal yang bertujuan menghidupkan partisipasi Hak Sipil sebagai sosial engineering.
Dan sekarang hal-hal tersebut makin menjadi aneh: kritik terhadap kesenjangan dan rasa sakit yang seakan disetujui pemerintah memenuhi daftar fantasi dan permainan. Bagaimana Anda bisa menulis tentang hidup dan mati warga kota dalam retorika pengalihan remaja yang tidak jelas?
Bagaimana seorang anak yang ditampar seorang perempuan tua dipandang tidak bisa memberikan kata-kata yang kita butuhkan dalam kehidupan sosial mengguncang semua orang yang berpikiran serius dan sepele.Â
Bagaimana seorang remaja meremas-remas tangan kita setelah dipandang melakukan kejahatan dan terhina di ruang sosial bias dari kebijaksanaan konvensional kita?Â
"Tungguma" adalah topos yang menarik di dalam aksioma kewargaan kita, menurut saya ini adalah sebuah penegasan, karena terornya "mengabarkan arti tujuan yang merupakan ciri khas dari filosofi berbasis keberpihakan."
Tempat di mana sentimen sosial yang sangat terfokus berada begitu penuh dengan makna yang dianggap berasal dari kategori orang yang tidak adil sehingga kualitas moral yang tidak berwujud ini menjadi realitas spasial dan temporal, mempercepat turun dari dunia abstraksi untuk merendam segala sesuatu dalam keputusasaan yang dingin dan menyakitkan.