Menggeser Rp200 triliun dari SAL ke perbankan tanpa prosedur hukum sama artinya dengan mendeligitimasi fungsi dasar APBN sebagai instrumen konstitusional. Itu bukan lagi sekadar masalah teknis fiskal, melainkan pelanggaran tata kelola negara. Logika "uang nganggur" di sini harus ditolak, karena yang disebut nganggur ternyata adalah cadangan yang fungsinya menjaga agar sistem fiskal tidak terguncang ketika terjadi shock.
Mental Trading = Mental Gambling ?
Menteri Keuangan baru ini memiliki latar belakang kuat di pasar modal. Ia terbiasa membaca candlestick, timing, dan momentum untuk ambil keputusan cepat. Dalam trading, mengambil risiko tinggi adalah hal biasa.
Namun negara bukanlah akun trading. APBN bukan candlestick, dan rakyat bukan investor retail. Menggunakan SAL sebagai modal likuiditas sama seperti memberi  tabungan darurat keluarga ke permainan slot: sekali salah, seluruh keluarga rugi.
Menurut idenya  Koboi: SAL pindah ke bank BUMN kredit mengalir ekonomi tumbuh.
 Anda memberikan 10 kantong uang ke 6 teman, berharap mereka langsung meminjamkan ke tetangga yang butuh. Tanpa aturan jelas, mereka bisa menyimpan sebagian, meminjamkan ke teman dekat, atau membeli hal yang aman tapi tidak produktif.
Pengalaman penempatan dana pemerintah saat pandemi Covid-19 memberi pelajaran penting. Skema Kredit Modal Kerja Pemulihan (KDMP) senilai Rp16 triliun awalnya dirancang untuk mengalirkan kredit murah ke sektor riil. Pemerintah menaruh dana di bank, lalu bank diminta menyalurkan kredit modal kerja kepada dunia usaha. Di atas kertas, ide ini tampak menjanjikan.
Namun realisasinya justru membuka ruang moral hazard. Bank tahu risiko kredit ditanggung pemerintah, sehingga standar prudensial dilonggarkan. Debitur pun sadar ada subsidi dan jaminan negara, sehingga berani berutang meski prospeknya lemah. Akibatnya, kualitas kredit memburuk dan Non-Performing Loan (NPL)Â meningkat lebih tinggi dibanding kredit komersial biasa.
Artinya, penempatan dana Rp16 triliun saja sudah melahirkan distorsi serius: dana tidak sepenuhnya mengalir ke sektor produktif, sebagian justru parkir di instrumen aman atau tersedot ke debitur bermasalah. Jika Rp200 triliun SAL diperlakukan dengan pola serupa, dampaknya bukan sekadar kredit macet, melainkan hancurnya fungsi SAL sebagai bantalan fiskal. Risiko sistemik yang lahir akan jauh lebih mahal daripada sekadar "uang menganggur" yang dipaksa bergerak.
Risiko Makro Ekonomi
Jika Rp 200 triliun dialirkan begitu saja: