Anak itu bernama Ulya Nuuran Shadiqah seorang yatim asal SP 3 Timika, Papua. Wajahnya penuh semangat, tingkah lakunya lembut, ucapan yang keluar dari lisannya sopan, dan terdapat keinginan besar dari setiap langkah tenang kemanapun ia pergi.
Sejak kepergian sang ayah untuk selamanya, Ulya tinggal bersama Ibu dan kakaknya hidup penuh perjuangan, walaupun dalam keterbatasan dirinya tidak mau berputus asa, mereka terus memiliki mimpi yang besar serta ketekunan untuk mencapai apa yang menjadi cita-citanya.
Sekarang Ulya melanjutkan sekolahnya di salah satu SMA Pondok Pesantren jauh di Pulau Jawa, jarak ribuan kilometer dari ibunya namun tidak mematahkan semangat belajar dan menuntut ilmu, justru tekadnya semakin kuat serta merasa harus bertanggung jawab atas amanah para donatur LAZ Assalaam Timika.
Setiap hari Ulya selalu bangun pagi bersama dengan teman-temannya, tak lupa membaca doa dan terus semangat serta sholat subuh di Masjid Pesantren, seakan-akan dirinya berjumpa dengan ayahnya yang telah tiada dan berkata 'ayah.. lihatlah aku terus semangat berjuang.' Tak lupa juga membersihkan lingkungan.
Ulya juga selalu membantu para ustadzah dan teman-temannya yang kesulitan, sebagaimana cita-citanya mau menjadi seorang akuntan yang profesional sehingga dapat membantu masyarakat lebih banyak lagi. Namun semuanya tidak mungkin terjadi tanpa izin Allah SWT kemudian LAZ Assalaam Timika.
Berkat kepercayaan Sahabat Dermawan LAZ Assalaam Timika, dari zakat, sedekah, maupun infak yang disalurkan melalui lembaga resmi inilah biaya pendidikan Ulya setiap bulannya dibayarkan, dirinya dan sang ibu tak perlu khawatir lagi terkait pembayaran uang bulanan.
Setiap awal bulan Ulya mengetahui bahwa ada banyak tangan yang mengulurkan bantuan melalui zakat, infak, atau sedekah yang disalurkan melalui LAZ Assalaam Timika, walaupun wajah-wajah itu tak pernah dijumpai secara langsung namun dirinya merasakan arti mendalam dari kepedulian terhadap sesama.
Bagi Ulya keberadaannya yang belajar di pesantren nun jauh di Pulau Jawa bukan hanya menuntut ilmu, tetapi juga merupakan bentuk rasa syukur dan tanggung jawab, oleh karena itu dirinya belajar dengan sungguh-sungguh, mengikuti program tahfidz, organisasi santri, sambil terus menjaga nilai akademik.
Ulya sangat menyadari bahwa zakat maupun sedekah atau donasi lainnya yang diberikan bukan bantuan cuma-cuma, melainkan amanah mulia. Di saat teman-teman seusianya sekarang masih belum memiliki arah tujuan yang jelas terkait masa depan, dirinya sudah mantap dengan cita-cita sebagai akuntan.
Kelak apabila sudah tercapai cita-cita Ulya sebagai akuntan dirinya juga berharap bisa membantu para janda, anak-anak yatim, pelaku usaha kecil agar bisa memiliki catatan keuangan usaha yang rapi, sehingga dengan cara tersebut dapat lebih terukur dan terencana setiap pemasukan dan pengeluarannya serta menjadi lebih sejahtera.
Sang Ibu yang bernama Fatimah menyampaikan pesan kepada Ulya agar terus bersemangat belajar hingga mencapai cita-cita, walaupun banyak aral melintang harus terus dihadapi di Pulau Jawa yang sangat jauh, agar menjadi kebangaan bagi kedua orang tua, terutama untuk ayahanda tercinta.