Kalau mendengar kata peti mati, apa yang langsung terbayang di pikiran kamu? Mungkin yang terlintas adalah sesuatu yang menyeramkan, gelap, atau berhubungan dengan kematian yang sedih. Tapi tahukah kamu, di Selandia Baru ada satu komunitas unik yang justru menjadikan peti mati sebagai lambang kebahagiaan, penerimaan, bahkan kreativitas? Komunitas ini bernama Coffin Club, dan kisah mereka benar-benar bikin kita berpikir ulang soal bagaimana cara kita memandang hidup dan kematian.
Coffin Club pertama kali muncul di kota Rotorua, Selandia Baru, sekitar tahun 2010-an. Pendiri komunitas ini adalah seorang perempuan luar biasa bernama Katie Williams, seorang pensiunan perawat yang sudah bertahun-tahun bekerja di panti jompo. Katie sering melihat betapa mahalnya biaya pemakaman, dan bagaimana hal itu memberatkan keluarga yang ditinggalkan. Ditambah lagi, dia menyadari bahwa banyak orang tua yang sebenarnya ingin mempersiapkan akhir hidup mereka dengan cara yang lebih pribadi dan bermakna. Dari situ, lahirlah ide untuk membentuk Coffin Club.
Di Coffin Club, para anggota yang sebagian besar adalah lansia berkumpul seminggu sekali. Mereka datang bukan untuk bersedih atau merenung soal kematian, tapi untuk merayakan hidup dengan cara yang sangat kreatif, mereka membuat, mengecat, dan menghias peti mati mereka sendiri. Kedengarannya aneh? Mungkin. Tapi kalau kamu lihat langsung suasana Coffin Club, kamu pasti nggak bakal bilang ini tempat yang suram. Justru sebaliknya.
Di sana, suasananya hangat, penuh tawa, penuh canda. Ada yang sibuk mengukur kayu, ada yang asyik menggambar pola di petinya, ada yang melukis peti mati mereka dengan warna-warna cerah. Peti mati yang mereka buat bukan peti biasa. Ada yang dihias dengan bunga-bunga, ada yang dicat ungu, merah muda, biru muda, ada juga yang ditempeli stiker atau foto-foto keluarga. Bahkan, ada yang menghias petinya dengan gambar hewan peliharaan mereka, atau motif favorit seperti bintang-bintang dan kupu-kupu.
Yang paling menarik, Coffin Club bukan cuma soal bikin peti mati dengan harga murah. Lebih dari itu, Coffin Club jadi tempat untuk para lansia berbagi cerita, bercanda, dan saling menguatkan. Banyak dari mereka yang bilang, "Datang ke Coffin Club itu seperti datang ke rumah kedua." Bayangin, di usia yang nggak lagi muda, mereka bisa punya teman-teman baru, bisa tertawa bersama, bisa merasa didengar dan dihargai.
Salah satu anggota Coffin Club pernah diwawancarai di dokumenter Coffin Club, dan dia bilang, "Aku nggak mau nanti dimakamkan di dalam peti polos yang harganya mahal tapi nggak ada artinya. Aku mau petiku mencerminkan siapa aku. Dan aku mau petiku dibuat dengan penuh cinta." Kalimat sederhana tapi dalam banget, ya?
Coffin Club juga secara nggak langsung jadi ruang healing untuk mereka yang mungkin merasa kesepian. Banyak anggota yang datang ke sana karena sudah kehilangan pasangan atau teman-teman sebayanya. Di Coffin Club, mereka merasa punya tempat untuk kembali tersenyum dan merayakan sisa hari mereka dengan bahagia. Dan yang bikin tambah hangat, sering kali anak muda atau sukarelawan juga ikut membantu di Coffin Club. Mereka belajar banyak tentang hidup, tentang keberanian menghadapi kematian, dan tentang makna kebersamaan.
Kegiatan Coffin Club ini akhirnya menyebar ke berbagai kota di Selandia Baru. Bahkan, ide ini mulai diadopsi di negara-negara lain seperti Inggris dan Amerika. Coffin Club jadi simbol bahwa kematian nggak harus selalu diiringi dengan air mata. Justru, dengan mempersiapkan diri sejak dini, kita bisa menghadapinya dengan lebih ikhlas, lebih damai, dan bahkan lebih kreatif.
Kalau kita pikir-pikir, budaya seperti Coffin Club ini ngajarin kita banyak hal. Kita sering banget takut sama yang namanya kematian, sampai-sampai nggak mau membicarakannya. Padahal, dengan menerima bahwa hidup ada akhirnya, kita jadi lebih sadar buat menikmati hari ini. Coffin Club ngajarin kita buat hidup sepenuh hati, menghargai setiap detik, dan menghabiskan waktu dengan hal-hal yang bikin bahagia.
Lucunya, Coffin Club ini juga bikin banyak orang muda jadi mikir ulang tentang cara mereka hidup. Ada relawan muda yang pernah bilang, "Aku jadi sadar, selama ini aku sibuk banget ngejar target, sampai lupa nikmatin hidup. Liat para nenek dan kakek ini senyum-senyum sambil bikin peti malah bikin aku pengen lebih santai dan syukurin hidup."
Jadi, Coffin Club bukan sekadar komunitas bikin peti mati. Ini komunitas yang merayakan kehidupan. Tempat di mana kamu boleh jadi diri sendiri, tempat di mana nggak ada yang menakutkan tentang kematian, tempat di mana warna-warni hidup justru terlihat makin jelas.