Bukan salah korban ketika mereka gagal melindungi diri dari serangan pelaku. Bukan kemauan mereka untuk diperlakukan tidak senonoh. Memberi kritik dan hujatan akan menambah rasa takut, trauma, dan tidak tenang pada benak korban. Ia akan terus dihantui rasa bersalah walau faktanya merekalah yang dirugikan.
Saya jadi ingat satu kasus lain di mana seorang public figure melakukan kekerasan seksual kepada seorang remaja dan akhirnya mendapatkan hukuman penjara. Ketika ia habis masa tahanan, masyarakat, bahkan media televisi meliput dan menyambutnya. Tidak sedikit orang yang menutup mata akan kasus yang membawanya kedalam jeruji besi. Ini miris sekali bukan? Seolah predator kejahatan seksual adalah seorang pahlawan yang patut untuk dipuja dan disambut pulang dengan bahagia. Ini sungguh tidak selaras dengan sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebab si pelaku tidak mendapat sanksi sosial yang sepadan dengan apa yang dirasakan korban.
Gerakan yang dilakukan muda-mudi akhirnya membuahkan hasil. Setelah ramai jadi perbincangan, akhirnya media televisi batal menayangkan klip episode untuk menyambut sang public figure. Banyak siswa-siswa, mahasiswa-mahasiwi, dan orang-orang yang melek akan keadilan berlomba-lomba membuat petisi guna menolak tayangan tersebut sehingga korban tidak mendapat tekanan lain lagi.
Mahasiswa seperti kita sejujurnya memegang kunci penting dalam ketimpangan seperti ini. Tindakan yang dapat kita lakukan dengan media sosial yang dimiliki masing-masing sudah cukup memberikan banyak implikasi bagus seperti kasus yang saya jelaskan di atas. Tidak perlu kuasa yang tinggi, menyatukan suara antar mahasiswa dapat membantu segelinti korban pelecehan untuk mendapatkan kembali haknya.
Pada intinya, sistem etika pancasila yang melenceng dapat perlahan dikembalikan asalkan anak-anak muda dapat memimpin gerakan-gerakan dan membuat petisi apabila diperlukan dengan kepala dingin dan pemikiran yang netral.