Mohon tunggu...
Zulfa MuasarohBinti
Zulfa MuasarohBinti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya Zulfa, mahasiswi jurusan Perbankan Syariah

Saya Zulfa, mahasiswi jurusan Perbankan Syariah di salah satu PTKIN di Malang.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Ketika Sistem Etika Pancasila Melenceng

24 November 2021   22:32 Diperbarui: 24 November 2021   22:43 1436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Etika Pancasila adalah cabang filsafat yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.

Pancasila sebagai sistem etika ialah moral yang bisa di realisasikan pada perbuatan yang dapat di lihat sehingga melibatkan banyak sekali aspek kehidupan. Dapat dilihat masa kini masih banyak sekali warga yang tidak berasaskan Pancasila. Tujuan Pancasila sebagai sistem Etika dengan melihat nilai apa saja yang tercantum pada isi Pancasila, maka dari itu Pancasila bisa menjadi sistem etika yang sangat kokoh. Di dalam etika Pancasila sendiri tercantum nilai sila Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan kerakyatan serta keadilan.

Isu yang ingin saya bahas kali ini adalah tentang penyimpangan nilai-nilai etika dalam pancasila, salah satunya poin kemanusiaan yang adil dan beradab dalam sila kedua pancasila. Akhir-akhir ini, isu pelecehan mewarnai jagat pemberitaan media sosial. Baik ditwitter, intagram, whatsapp, dan media sosial lainnya. Dari headline yang bertebaran dikanal berita-berita lokal sudah menunjukkan bahwa hingga saat ini standarisasi sistem etika yang berasal dari pancasila tidak berjalan dengan baik.

Saya berbicara mengenai salah satu contohnya, pelecehan seksual. Sebetulnya penyimpangan nilai dari sistem etika pancasila terbagi dalam banyak poin seperti penyimpangan agama, hak asasi, dan lain-ain. Hari ini mari membahas satu topik saja. Saya mengutip dari sumber Surabaya, CNN Indonesia -- 'Seorang dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri, Jawa Timur dilaporkan oleh seorang mahasiswi ke Rektorat. Dosen tersebut diduga melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi dengan modus meminta korban datang ke rumahnya untuk bimbingan skripsi.

Dugaan pelecehan seksual itu dibenarkan oleh pihak rektorat. Namun, hingga saat ini dosen yang diduga melecehkan mahasiswi belum berkomentar atas tudingan tersebut.

Wakil Rektor III IAIN Kediri, Wahidul Anam mengatakan saat ini kasus itu tengah ditangani internal kampus.'

Selain berita pelecehan yang saya kutip, ada ribuan berita lan yang sering muncul dalam laman yang hendak saya akses. Saya begitu miris, perilaku menyimpang seperti ini terus bertambah seiring berjalannya waktu, kurangnya kesadaran diri dan hukum yang menjerat tiap-tiap pelaku menyebabkan kasus pelecehan di Indonesia cukup tinggi.

Saya pernah membaca cuap-cuap korban pelecehan dalam suatu akun dengan username @yourstoryisheard, suatu akun yang membantu mengkampanyekan pembebasan korban pelecehan dari kritikan publik. Selain menerima trauma dari perlakuan pelaku, korban juga menerima banyak ujaran kebencian dari orang-orang sekitar. Tidak sedikit yang menyalahkan pihak korban, mereka berkata pakaian dapat mengundang pelecehan. Perilaku, paras, bentuk tubuh, semuanya mengundang pelaku melancarkan aksinya. Lantas kalau poin-poin tersebut dijadikan alasan mengapa korban diperlakukan demikian, maka harus bagaimana ia bertindak sebagai manusia? Mengapa harus korban yang menahan diri habis-habisan sedang pelaku terus mencari celah untuk menyentuh?

Kita lihat peristiwa yang terjadi belum lama ini, tentang seorang wanita yang dilecehkan ketika ia menunaikan ibadah salat. Apakah alasan pakaian, perilaku, dan bentuk tubuh masih bisa dijadikan alibi? Ia tengah mengenakan mukena, masihkah dapat dikatakan bahwa ia mengundang pelaku untuk melecehkan dirinya?

Lagipula alasan bentuk tubuh dan paras menurut saya sangat tidak masuk akal, sebab hanya Tuhan yang menentukan bentuk dan paras ciptaannya. Seseorang dengan bentuk tubuh tinggi besar tidak bisa memilih bagaimana ia tumbuh. Begitu pula seseorang dengan bentuk tubuh lain.

Kembali lagi kepada topik pancasila sebagai sistem etika. Menilik kasus ini menunjukkan bahwa manusia terlebihnya di Indonesia tidak menerapkan pancasila sebagai acuan mereka dalam beretika, sebab pada sila kedua saja mereka abai dan lalai. Tindak pelecehan termasuk kedalam tindakan merebut hak-hak manusia lain. Perbutan ini dapat menyebabkan perpecahan, menimbulkan kekacauan, dan terjadinya banyak pemberontakan.

Bukan salah korban ketika mereka gagal melindungi diri dari serangan pelaku. Bukan kemauan mereka untuk diperlakukan tidak senonoh. Memberi kritik dan hujatan akan menambah rasa takut, trauma, dan tidak tenang pada benak korban. Ia akan terus dihantui rasa bersalah walau faktanya merekalah yang dirugikan.

Saya jadi ingat satu kasus lain di mana seorang public figure melakukan kekerasan seksual kepada seorang remaja dan akhirnya mendapatkan hukuman penjara. Ketika ia habis masa tahanan, masyarakat, bahkan media televisi meliput dan menyambutnya. Tidak sedikit orang yang menutup mata akan kasus yang membawanya kedalam jeruji besi. Ini miris sekali bukan? Seolah predator kejahatan seksual adalah seorang pahlawan yang patut untuk dipuja dan disambut pulang dengan bahagia. Ini sungguh tidak selaras dengan sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebab si pelaku tidak mendapat sanksi sosial yang sepadan dengan apa yang dirasakan korban.

Gerakan yang dilakukan muda-mudi akhirnya membuahkan hasil. Setelah ramai jadi perbincangan, akhirnya media televisi batal menayangkan klip episode untuk menyambut sang public figure. Banyak siswa-siswa, mahasiswa-mahasiwi, dan orang-orang yang melek akan keadilan berlomba-lomba membuat petisi guna menolak tayangan tersebut sehingga korban tidak mendapat tekanan lain lagi.

Mahasiswa seperti kita sejujurnya memegang kunci penting dalam ketimpangan seperti ini. Tindakan yang dapat kita lakukan dengan media sosial yang dimiliki masing-masing sudah cukup memberikan banyak implikasi bagus seperti kasus yang saya jelaskan di atas. Tidak perlu kuasa yang tinggi, menyatukan suara antar mahasiswa dapat membantu segelinti korban pelecehan untuk mendapatkan kembali haknya.

Pada intinya, sistem etika pancasila yang melenceng dapat perlahan dikembalikan asalkan anak-anak muda dapat memimpin gerakan-gerakan dan membuat petisi apabila diperlukan dengan kepala dingin dan pemikiran yang netral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun