Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Bisa ke Lain Hati

14 Oktober 2017   19:49 Diperbarui: 14 Oktober 2017   19:57 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
industri.bisnis.com

Karena negeri ini terlalu sering bermasalah dalam soal produk sandang pangan, maka telinga orang Indonesia seperti jadi terbiasa terhadap berita terkait hal itu. Kasus ditemukannya beras oplosan di sebuah gudang beras di Bekasi, di Mojokerto Jawa Timur, dan di Kabupaten Lahat Sumatera Selatan dalam dua minggu terakhir, misalnya. Modusnya mencampur beras sejahtera bersubsidi dan mengganti kemasannya menjadi beras premium.

Sebentar saja berita itu mencuri perhatian publik, tetapi pelan-pelan diabaikan. Walaupun menyangkut bahan pokok makanan rakyat Indonesia dan dianggap mengurangi hak warga miskin mendapatkan beras murah, tetapi  tetap seperti takberpengaruh. Rakyat pengonsumsi beras sejahtera, mau tidak mau, tetap harus beli beras untuk makan. Takbisa menunggu kebijakan, apalagi tindakan terhadap kasus tersebut.

Belum puas mencermati sampai di mana akhirnya kasus beras oplosan dibungkus, sekarang ramai lagi pemberitaan tentang langkanya pasokan garam hingga mengakibatkan kenaikan harga sampai lima kali lipat. Sekali lagi, kasus semacam ini kembali menguji mental rakyat Indonesia. Setelah merasa berasnya dioplos, sekarang garamnya taktentu rimbanya. Akankan pelan-pelan soal garam ini akan tenggelam sendiri, lihat saja nanti.

Karena merasa sebagai bagian dari negeri ini, terkadang saya takhabis pikir. Bagaima mungkin negeri yang disebut gemah ripah loh jinawi ini masih serba bermasalah dalam menikmati kekayaannya. Kasus garam, misalnya, bagaimana mungkin negeri ini kekurangan garam sementara lautan yang menghasilkan garam luasnya 64,97% dari seluruh wilayah teritorial Indonesia, atau 2 kali luas daratan. Ironis sekali.

Tapi, sudahlah. Nanti juga suplai garam akan normal lagi. Percayakan saja dengan orang-orang di Jakarta, yang mengurusi negeri ini, menyelesaikannya. Sebentar juga akan teratasi. Dan akan ada persoalan baru menggantikkannya.  Lagi pula, soal negeri ini bukan hanya beras dan garam. Masih banyak persoalan lain, seperti soal narkoba dan korupsi yang takpernah habis, dan yang lebih urgen, ritual rutin, menyiapkan perebutan tahta tahun 2019.

"Kok tiba-tiba menjadi sinis, Bang?" komentar temanku yang sedang aku ajak ngobrol di salah satu kedai terminal kedatangan Bandara Soekarno Hatta, sambil menunggu mobil jemputan. Ini bukan sebuah sikap sinis. Justru sebaliknya, semangat optimisme. Sejarah bangsa ini telah mengajarkan banyak. Jangankan soal beras oplosan dan kelangkaan garam, soal banjir dan gempa bumi yang meluluhlantakkan kehidupannya saja, rakyat bisa bangkit.

"Tapi, pernyataan abang soal 'orang-orang di Jakarta' yang abang sebut tadi terasa nyelekit?". Itu bentuk kebanggan dan kepercayaanku sebagai rakyat kepada mereka, pemimpin negeri dan para wakil kita di parlemen.  Kita harus yakin, persoalan apa pun di negeri ini akan mampu mereka selesaikan. Ada ratusan orang pintar dengan pendidikan luar biasa dan beragam gelar duduk di kabinet dan di DPR, tentu urusan beras dan garam soal cetek.

"Benar juga, Bang! Trus, sebagai rakyat kita ngapain?". Tugas rakyat ya memikirkan hidupnya.  Tidak perlu ikut memikirkan yang sudah dipikirkan pemimpin. Rakyat harus terus berjuang untuk dapat hidup. Bagaimana pun caranya. Apalagi sebagai umat beragama, kita percaya bahwa Allah tidak akan membebani hambanya di luar batas kemampuan. "Ah, omonganmu sudah seperti motivator saja, Bang!" Sekali-sekali, bolehlah kita memotivasi, minimal untuk diri sendiri.

Itulah nikmatnya jadi orang Indonesia, hidup takpernah kekurangan. Selalu dicukupkan masalah dan selalu dipenuhi solusinya. Keseharian kita takpernah sepi masalah, tetapi pada sisi lain selalu ada jalan mengatasinya. Sekali waktu, seperti seorang pasien yang butuh pertolongan, tetapi di waktu yang lain seperti tabib yang mampu mengobati. Solusinya beraneka, dari makin taat beribadat, makin giat bekerja, larut dalam narkoba, atau sampai bunuh diri.

Percayalah, beras, garam, dan komoditi apalagi nanti, akan tetap setia menjadi masalah bagi kita. Dari sawah, dari lautan, atau dari mana pun datangnya, semua akan tetap hadir. Bukan sekadar menjadi kebutuhan untuk pangan, tetapi juga memberi sebuah keniscayaan. Tersebab kita sudah terlanjur menjadikan makanan pokok dan penyedap rasa. Takbisa ke lain hati, sampai kiamat sekali pun. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun