Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibunya Kota

16 Juli 2017   23:08 Diperbarui: 22 Juli 2019   22:23 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : http://www.sulutgoonline.com

"Napa jar, ibukuta Jakarta cagar bapindah ka Banuakah?"

"Kadanya Jakarta nang pindah, ibukutanya."

"Bagus jua mun ibukuta Indonesia pindah ka Banua."

"Napa nang bagus. Mamauki. Maurusi sual di Banua aja kada sing tuntungan."

"Tapi banyak pambangunan kaina."

"Cah, urang Jakatra jua ai nang cagar manggawinya, Urang kita manuntun haja!"

***

Itu sekelumit pandiran di warung pagi kemarin (Sabtu, 15/7) saat saya mawarung di Pasar Lama, usai jalan pagi. Rupanya wacana rencana pemindahan ibukota negeri ini dari Jakarta ke Kalimantan sudah menjadi trending topic di masyarakat banua. Dan mereka mencoba menyuarakan isi hatinya sesuai kacamatanya sebagai rakyat. Pro dan kontra, tentu, tetapi masing-masing punya alasan sendiri.

Sebagai urang Banua, saya tentu menyambut positif rencana ini. Diplomatis, memang. Niat besar pemimpin negeri ini untuk memberi kesempatan kepada tanah Kalimantan menjadi ibukota patut diapresiasi. Tentu mata pemimpin itu melihat bahwa ada potensi besar salah satu kota dari salah satu provinsi dari pulau seluas 743.330 km2  ini menjadi ibunya kota-kota di Nusantara. Dan ini tantangan bagi kita.

Memang ini masih wacana. Sejak digulirkan Pak Jokowi, bolanya sempat ke sana ke mari, walau akhirnya mengarah ke Kalimantan. Dan Kalimantan yang dimaksud juga belum dipilih, sekali pun Soekarno, tahun 1950, pernah menyebut Palangka Raya, Kalimantan Tengah, sebagai bakal ibukota. Yang belum jelas adalah apakah pemindahan ibukota ini pusat pemerintahannya atau sekaligus pusat bisnisnya.

Ada beberapa negara yang memisahkan pusat pemerintahan dan pusat bisnisnya. Amerika Serikat, misalnya, pusat pemerintahan di Washington D.C., pusat bisnis di New York. Jepang, memindahkan pusat pemerintahannya dari Kyoto ke Tokyo. Australia dari Sidney ke Canberra. Jerman dari Bonn ke Berlin. Brasil hijrah dari Rio de Jeneiro ke Brasilia. Dan Malaysia memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Putrajaya.

Saya yakin yang bakal dipindahkan dari Jakarta ke salah satu kota di Kalimantan sebagai ibukota adalah pusat pemerintahan dan Jakarta tetap menjadi pusat bisnis. Namun, sebagai pusat pemerintahan, kota terpilih nanti pada akhirnya tetap akan menanggung beban seperti Jakarta sekarang. Yang paling tampak, urbanisasi besar-besaran, baik yang terstruktur seperti pegawai negeri dan BUMN, maupun masyarakat biasa.

Persoalan pemindahan ibukota tidaklah gampang. Bukan sekadar memindahkan dokumen kenegaraan hingga menambah catatan sejarah tentang ibukota baru, juga bukan hanya memindahkan pembangunan struktur dan infrastruktur layaknya sebuah ibukota, melainkan sekaligus memboyong ruh dan jiwa sebuah 'makhluk' bernama ibukota. Proses ini jauh lebih riskan.

Seorang kawan yang sehari-harinya artis penyanyi THM di Banjarmasin berseloroh, kalau salah satu kota di Kalsel menjadi ibukota, maka saya sudah menjadi penyanyi ibukota. Seloroh itu terasa ringan, tetapi dari sana bisa ditemukan adanya lebel yang juga ikut berpindah. Lebel ibukota itu menempel pada setiap aktivitas dan manusianya. Pengaruhnya pada pola budaya berprilaku, bisa positif dan lebih banyak negatif.

Persoalan banjir dan terbatasnya lahan Jakarta tentu akan tetap ditinggal di Jakarta jika ibukota dipindahkan. Namun, persoalan gaya hidup, moral, individualistis ibukota akan menyertai kepindahan itu. Di mana pun ibukota itu diletakkan, maka hal itu akan menjadi persoalan baru bagi daerah tempatan. Akan ada pembekapan nilai-nilai kearifan lokal daerah tempatan oleh nilai-nilai bawaan ibukota.

Ingatlah bagaimana rakyat Betawi berteriak karena lahan bersejarah mereka berubah fungsi menjadi gedung komersial dan nilai  tradisi mereka mulai menipis tergerus kehidupan modern dan hedonisme. Orang Betawi takbanyak lagi melahirkan anak-anak yang suka sembahyang dan mengaji, tetapi anak-anak mal dan jalanan. Pastilah orang di Kalimantan yang akan menjadi tempatan ibukota akan mengalami hal yang sama.

Selayaknyalah, petinggi di Banua mempertimbangan dengan matang untuk menjadi ibunya kota. Biarlah kota di provinsi lain Kalimantan yang menjadi ibunya kota. Banua cukup menjadi acil dan pamannya kota saja, cukup menjadi daerah penyangga. Pasti akan meningkatkan pendapatan masyarakat karena menyediakan segala kebutuhan rakyat ibukota. Banua jadi lebih bebas bergerak untuk menyejahterakan rakyatnya. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun