Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan digitalisasi dalam hampir seluruh aspek kehidupan, banyak hal berubah drastis, termasuk cara kita memperoleh informasi, berkomunikasi, hingga belajar. Dunia pendidikan pun ikut terdorong untuk bertransformasi. Kelas daring, e-learning, dan media sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan pelajar masa kini. Namun, di balik semua kemudahan itu, muncul pertanyaan penting, apakah pendidikan karakter masih relevan di era digital seperti sekarang?
Jawabannya justru semakin penting. Di era di mana teknologi berkembang begitu cepat dan batas antara dunia nyata dan dunia maya semakin kabur, tantangan dalam membentuk karakter anak-anak dan remaja menjadi jauh lebih kompleks. Jika dulu pendidikan karakter bisa ditanamkan melalui interaksi langsung, kegiatan di lingkungan sekolah, atau nasihat dari orang tua, sekarang tantangan datang dari arah yang tidak terlihat; layar ponsel, algoritma media sosial, dan banjir informasi yang tak selalu benar.
Pendidikan karakter sejatinya bukan sekadar mengajarkan anak untuk menjadi "anak baik". Ia lebih dari itu. Pendidikan karakter mencakup pembentukan nilai-nilai moral, etika, tanggung jawab, empati, kejujuran, dan kerja sama. Nilai-nilai ini sangat dibutuhkan agar seseorang bisa menjalani hidupnya secara seimbang, bukan hanya cerdas secara akademis, tapi juga matang secara emosional dan sosial.
Sayangnya, di era digital, ruang untuk menyerap nilai-nilai karakter secara alami semakin sempit. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar dibanding berinteraksi langsung dengan lingkungan sekitar. Bahkan, banyak anak yang lebih mengenal tokoh-tokoh dari YouTube atau TikTok ketimbang tetangganya sendiri. Dalam situasi seperti ini, jika pendidikan karakter tidak sengaja dan serius diberikan, maka anak akan lebih mudah menyerap nilai-nilai dari luar yang belum tentu sesuai atau baik bagi perkembangan kepribadiannya.
Era digital juga membawa tantangan baru yang belum pernah dihadapi generasi sebelumnya, seperti cyberbullying, penyebaran hoaks, kecanduan gawai, hingga krisis identitas karena terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain di media sosial. Ini semua adalah medan baru dalam dunia pendidikan karakter. Bagaimana anak-anak bisa diajarkan untuk bijak bersosial media? Bagaimana mereka belajar tentang empati dan menghargai perbedaan dalam ruang digital yang anonim dan kadang kejam? Semua ini membutuhkan pendekatan pendidikan karakter yang lebih adaptif.
Guru dan orang tua kini punya peran yang jauh lebih besar dan rumit. Mereka tidak cukup hanya menjadi pengajar atau pembimbing, tetapi juga harus menjadi panutan dalam menggunakan teknologi secara sehat dan bertanggung jawab. Pendidikan karakter di era digital perlu mencakup literasi digital, kemampuan berpikir kritis, dan empati virtual dan hal-hal yang mungkin dulu belum begitu dibutuhkan.
Bukan berarti pendidikan karakter harus ditinggalkan dan diganti dengan pelajaran teknologi. Justru, teknologi bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk menyampaikan nilai-nilai karakter jika digunakan dengan bijak. Misalnya, video pembelajaran yang mengangkat tema empati atau kerja sama bisa jauh lebih menarik bagi generasi digital. Forum diskusi daring bisa digunakan untuk melatih anak dalam berpendapat dengan santun dan menghargai pandangan orang lain. Bahkan, game edukatif pun bisa menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai seperti kerja tim, kejujuran, dan tanggung jawab.
Kuncinya adalah keseimbangan. Kita tidak bisa menolak kemajuan teknologi, tapi kita juga tidak boleh membiarkan teknologi mengambil alih sepenuhnya proses pembentukan karakter anak. Perlu ada sinergi antara pendekatan tradisional dan pendekatan digital dalam mendidik. Pendidikan karakter bukan tentang melawan zaman, tapi menyesuaikan diri dan tetap memegang teguh nilai-nilai luhur dalam format yang relevan dengan kehidupan saat ini.
Kita juga perlu menyadari bahwa membentuk karakter bukanlah proses instan. Ia bukan hasil dari satu pelajaran atau satu nasihat. Pendidikan karakter adalah proses jangka panjang yang membutuhkan keteladanan, konsistensi, dan lingkungan yang mendukung. Di sinilah pentingnya keterlibatan semua pihak seperti guru, orang tua, komunitas, bahkan pembuat kebijakan. Untuk menjadikan pendidikan karakter sebagai prioritas, meskipun (atau justru karena) kita hidup di zaman digital.
Jadi, masih perlukah pendidikan karakter di era digital? Bukan hanya perlu, tapi mutlak dibutuhkan. Justru di tengah banjirnya informasi, derasnya arus konten viral, dan cepatnya arus perubahan, karakter yang kuat adalah jangkar yang membuat seseorang tetap berdiri tegak. Karena di balik semua kecanggihan, yang tetap membuat kita menjadi manusia sejati bukanlah teknologi, tapi hati dan nilai-nilai yang kita pegang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI