Mohon tunggu...
Pointri Dinita
Pointri Dinita Mohon Tunggu... Guru - CATATAN SINGKAT

Teach-Learn-Travel

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hoaks vs Generasi Minim Literasi

30 Oktober 2017   08:25 Diperbarui: 31 Oktober 2017   14:40 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hoax atau istilah bakunya adalah hoaks telah tercantum di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sejak Oktober 2016 memiliki pengertian berita bohong atau menipu. Istilah lain untuk menyebutkan kabar yang tidak terjamin kebenarannya  dan lebih dahulu hadir, yaitu isu, rumor, kabar angin, dan desas-desus. Pada perkembangannya, hoaks telah muncul ratusan tahun yang lalu. 

Salah satu pemimpin revolusi Amerika, Benjamin Franklin tercatat pernah membuat cerita hoaks. Pada tahun 1745 lewat harian Pennsylvania Gazette, Benjamin Franklin mengungkap adanya sebuah benda bernama "Batu China" yang dapat mengobati rabies, kanker, dan penyakit-penyakit lainnya. Meski begitu, ternyata batu yang dimaksud hanyalah terbuat dari tanduk rusa biasa dan tidak memiliki fungsi medis apapun. 

Hal tersebut diketahui oleh salah seorang pembaca harian Pennsylvania Gazette kemudian membuktikan tulisan Benjamin Franklin tersebut.  Meskipun telah lama dikenal, kata hoaks sendiri baru digunakan sekitar tahun 1808. Kata tersebut dipercaya datang dari penyingkatan dari hocus pocus, semacam mantra yang kerap digunakan dalam pertunjukan sulap dan di Indonesia lebih terkenal dengan sim salabim.

Badai hoaks yang akhir-akhir ini menerpa Indonesia dapat berdampak buruk bagi kesatuan dan persatuan bangsa. Berbagai informasi hoaks yang akhir-akhir ini muncul dalam diskursus ruang publik, memiliki tujuannya masing-masing. Tujuan yang paling sederhana perihal publisitas diri hingga tujuan politik praktis seperti halnya kasus Sarancen yang terungkap pada bulan Agustus 2017. Sarancen  telah melakukan beberapa fabrikasi berita dan menyebarluaskannya kepada masyarakat luas yang dapat berdampak pada tersebarnya kebencian. 

Masyarakat awam, khususnya generasi muda yang minim informasi mudah tersulut dan terpropaganda oleh berita-berita hoaks tersebut. Bisa jadi  berawal dari kepentingan terselubung menjadikan berita hoaks sebagai ladang bisnis yang dapat berdampak buruk bagi generasi penerus bangsa. Dampak globalisasi yang menuntut generasi muda untuk lekat dengan teknologi dan media secara tidak langsung menjadi pintu masuk tersebarnya hoaks. Ketika media massa seharusnya berfungsi sebagai alat tukar informasi, kini menjelma menjadi kehidupan itu sendiri dan mendikte generasi muda untuk mengamini. Hoaks menjelma menjadi berita yang seolah-olah nyata, fakta, dan sesuai standar logika. Tidak jarang berita-berita hoaks kerap dimaknai oleh pembaca sebagai dogma yang harus diyakini kebenarannya. 

Dampak laten apabila hoaks terus tumbuh subur di Indonesia adalah penyebaran kebencian atas dasar perbedaan suku, agama, ras, dan kultur, pembodohan generasi penerus dengan informasi bohong, serta lebih ekstrem lagi, yaitu runtuhnya persatuan dan kesatuan bangsa. Cara yang paling mudah untuk menangkal hoaks adalah dengan meningkatkan budaya baca secara kritis, mencermati informasi yang didapat dan sumber asal berita, serta menerapkan budaya beretika dalam menulis maupun  menyebarkan berita.

Budaya membaca memiliki peranan penting dalam menangkal hoaks. Informasi yang berlimpah ruah kerap tidak diimbangi dengan variasi baca oleh masyarakat. Masyarakat hanya membaca satu angle yang menjadikannya bukan semakin bernas dan berwawasan, malah sebaliknya. Pada sejarahnya, budaya membaca bangsa Indonesia dimulai ketika Belanda menerapkan politik etis atau politik balas budi yang dicetuskan oleh Van Deventer. Namun, masyarakat pada zaman penjajahan lebih cenderung membaca dengan cara resitasi atau hafalan tanpa memahami tujuan dan isi. Budaya membaca, lebih luas lagi budaya literasi, menjadi aktivitas yang kian tersisih dibandingkan dengan berselancar di media sosial. 

UNESCO melaporkan pada 2012 kemampuan membaca anak-anak Eropa dalam setahun rata-rata menghabiskan 25 buku, sedangkan Indonesia mencapai titik terendah yaitu 0,001 persen. Artinya, dari 1000 anak Indonesia hanya satu anak yang mampu menghabiskan satu buku dalam setahun. Empat tahun setelahnya, tidak ada perubahan signifikan. Pada Maret 2016, penelitian minat membaca masyarakat berdasarkan studi Most Littered Nation in the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara.

Berdasarkan kilas balik sejarah baca di Indonesia menandakan bahwa generasi muda Indonesia sangat minim literasi. Hal tersebut yang memberikan sumbangsih besar terhadap masuknya berita-berita hoaks secara cepat ke seluruh lapisan masyarakat. Berita hoaks secara hegemonis berpengaruh terhadap ideologi kaum muda yang minim literasi. Jika dibiarkan, berita hoaks akan membentuk pembodohan dan perusak moralitas generasi penerus bangsa. Tetapi, ketika perang melawan produsen-produsen hoaks berjalan ditempat, setidaknya budaya gemar baca dan kritis terhadap informasi menjadi salah satu cara menangkal berita hoaks. Jadikan generasi muda sebagai generasi yang berpikir kritis, yang isi kepalanya penuh ide besar dan berpikiran terbuka terhadap segala macam terpaan hoaks.

Media sosial maupun portal berita dengan derasnya arus informasi di dalamnya menuntut setiap individu untuk cerdas dalam menentukan apakah berita tersebut valid atau tidak. Untuk memperkecil peluang terjerat oleh informasi yang bersifat hoaks, pembaca diharapkan bijak dan cermat. Bijak dalam membaca  mendorong generasi muda untuk menyebarluaskan berita positif maupun tulisan kritis terkait isu terkini. memutus hubungan di media sosial dengan orang yang gemar menyebar kebencian. Generasi muda perlu diedukasi mengenai pentingnya budaya membaca kritis agar informasi yang diserap tidak hanya berasal dari satu sumber sehingga informasi lebih objektif. 

Selain bijak, generasi muda juga harus cermat untuk memeriksa kebenaran informasi dengan cara meneliti sumber berita,  mengidentifikasi judul berita, serta menganalisis isi dengan cara membandingkan dengan beberapa berita yang sama. Jika berita yang didapat mengandung unsur hoaks, jangan ragu memblock atau melaporkan situs yang mengandung berita bohong atau hoaks terlebih lagi jika berita tersebut menyebarkan kebencian dan SARA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun