Ia memang tidak memiliki sekolah, namun bukan berarti ia tidak memiliki semangat untuk memajukan rakyatnya.
Tadi siang kami sungguh terharu tersentuh oleh sekelumit deritahidup. Seorang bocah berumur 6 tahun berjualan rumput. Si bocah itu tidaklah lebih besar dari misanan kami; bocah itu sendiri tidak kelihatan; seakan ada dua buah unggukan rumput menyeberangi jalan. Ayah memanggilnya, dan dari situ terpampanglah sepotong sejarah, seperti ratusan, kalau tidak ribuan lainnya. Si bocah itu tiada berbapak; emaknya pergi bekerja; di rumah ditinggalkannya dua orang adiknya, lelaki semua. Dia sendiri yang tertua. Kami tanyakan kepadanya apakah dia sudah makan. "Belum," mereka hanya makan nasi sekali sehari, yaitu di sore hari kalau ibunya pulang dari bekerja; di siang hari mereka makan kue sagu aren seharga 0.5 sen.
Malulah aku terhadap keangkaraanku. Aku renungi dan pikirkan keadaanku sendiri, dan di luar sana begitu banyak derita dan kemelaratan melingkungi kami! Seketika itu juga seakan udara menggetar oleh ratap tangis, erang dan rintih orang-orang di sekelilingku. Dan lebih keras daripada erang dan rintih itu, mendesing dan menderu di kupingku: Kerja! Kerja! Kerja! Perjuangkan kebebasanmu! Baru kemudian kalau kau telah bebaskan dirimu sendiri dengan kerja, dapatlah kau menolong yang lain! Kerja! Kerja! Aku dengar itu begitu jelas, nampak tertulis di depan mataku... (Surat Kartini pada Nyonya Abendanon)
Saat itu Kartini masih berusia belasan tahun. Masa-masa dimana kita menikmati masa muda kita dengan merayakan sweet seventeen, berpacaran, berbelanja dengan teman, atau jalan-jalan ke luar negeri bersama keluarga. Namun Kartini, ia memikirkan apa yang bisa ia lakukan supaya bisa membantu orang di sekitarnya.
Ia memang bersahabat dengan orang Belanda, namun bukan berarti ia berada di pihak penjajah.
Kami berpendapat bahwa Bunda haruslah mengetahui, apa-apa yang kami temukan dalam masyarakat Bunda; karena rupa-rupanya Bunda berpendapat, bahwa kami menganggap dunia Eropa sebagai ideal. Apa yang menurut kami peradaban yang sebenarnya sudah lama Bunda ketahui; dan kami pun mengetahui, bahwa Bunda pun sependapat dengan kami: peradaban yang sebenarnya sama sekali belum menjadi milik negeri-negeri peradaban. Yang sebenarnya itu pun terdapat pada rakyat-rakyat, yang oleh massa besar orang kulit putih yang yakin akan kenomor-wahidannya, dipandang hina.
Tentu saja rakyat-rakyat kami (Jawa) mempunyai cacat-cacatnya, tetapi juga kebajikan-kebajikannya, yang mana 'rakyat-rakyat berada' (Belanda) dapat juga mengambilnya sebagai contoh. (Surat Kartini pada Nyonya Abendanon)
Kartini memang mengagumi Eropa dimana mereka membiarkan perempuan-perempuan bebas keluar rumah dan bersekolah. Namun bukan berarti ia menyembah kebudayaan barat. Ia tetap menganggap kebudayaan timur memiliki kedudukan setara dengan barat. Orang timur tidaklah lebih hina daripada orang barat. Dan sebaik-baiknya orang barat, mereka pun memiliki banyak kekurangan.
Ia pun membenci petinggi yang membiarkan rakyatnya berkubang dalam kebodohan
Para bupati, yang diminta nasihat mengenai hal ini (pendirian sekolah), umumnya menganggap, bahwa waktunya belum tiba untuk mendirikan sekolah-sekolah pendidikan buat para putri para pembesar serta para pemuka Pribumi.
Tapi bagaimana dalam praktek? Para bupati, yang memberikan nasihat semacam itu, mengaggap bahwa waktunyatelah tiba bagi putri-putri mereka sendiri, buat menerima pendidikan yang mencerahi, dan telah mulai memberikannya pula.