Mohon tunggu...
Zainal Muttaqin
Zainal Muttaqin Mohon Tunggu... Lainnya - Pena adalah senjata

Anggota KPU Kabupaten Serang Periode 2018-2023

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisa Kekuatan Politik Partai Nasionalis-Religius

21 Maret 2017   21:55 Diperbarui: 21 Maret 2017   21:59 2256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemunculan Partai Nasionalis Religius

Nasionalis-Rligius sebetulnya merupakan sebuah dialektika dari awal Negara ini merdeka, dimana ketika merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara terjadi pertentangan antara kaum Nasionalis dengan kaum religious islam dalam tubuh BPUPKI. Dimana kaum agamis menginginkan Indonesia berlandaskan Islam, sedangkan kaum Nasionalis yang dimotori Soekarno menginginkan bentuk Negara-Bangsa. Kalangan islam menuding kelompok Sukarno sebagai sekuler barat ingin menerapkan konsep-konsep barat di Indonesia, untuk itulah konsep itu ditentang, namun Sukarno tetap teguh dalam pendiriannya, bahkan dia menjelaskan bedanya penerapan konsep Negara-Bangsa di Indonesia, rupanya Sukarno tidak menelan mentah-mentah Negara-Bangsa yang dicetuskan di Barat, namun ia menyesuaikan dengan kondisi religiusitas di Indonesia, kemudian diterima sebagai kesepakatan bersama.


Menilik fakta historis, jargon Nasionalis-Religius sebetulnya minim akan fakta historis. Namun jika kita kaitkan dengan Resolusi Jiad yang dikeluarkan oleh NU menjelang kemerdekaan, mungkin istilah ini saling berkaitan. Seperti kita ketahui menjelang kemerdekaan NU membetuk laskar Hizbullah sebagai barisan tentara dari kalangan kiyai-santri dengan tujuan mempertahankan NKRI.


Secara terang mucul partai berhaluan Nasionalis-Religius pada awal memasuki reformasi, yaitu Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipelopori oleh Amien Rais sebagai tokoh Muhammadiyah, sehingga PAN sering diidentikan dengan kalangan Muhammadiyah. Selain PAN, lahir pula Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai metamorfosa dari partai NU dipimpin oleh ketua umum NU KH. Abdulrahman Wahid, haluan PKB bukanlah Partai Islam melainkan usungan utamanya adalah kebangsaan. Baik PAN maupun PKB, merupakan sama-sama partai yang memunculkan jargon Nasionalis-Religius. Menjelang pemilu 2004 muncul partai baru yang berhaluan Nasionalis-Religius, yakni Partai Demokrat yang kelak mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden RI. Berbeda dengan dua partai sebelumnya, Demokrat tidak lah mucul dari kalangan santri dan terpelajar islam, melainkan dari kalangan nasioalis sekuler dan tokoh militer.

Kekuatan Partai Nasionalis-Religius Dalam Kiprahnya

Kekuatan politik Idonesia berasal dari kekuatan Partai Poltik untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan. Dimulai tahun 1955 pemilu dilakukan untuk memilih perwakilan rakyat melalui partai, pada masa ini kekuatan PNI mampu menempatkan kekuatan-kekuatan kalangan nasionalis berada pada berbagai jabatan politiknya, selain itu juga kalangan religious islam juga menempatkan diri pada posisi kedua dan ketiga (NU & Masyumi), disusul oleh PKI yang berhaluan komunis yang berada pada empat teratas perolehan suara.


Memasuki masa Demokrasi terpimpin, terjadi kemerosotan perolehan dari kalagan partai islam. Pada masa ini yang memilki porsi besar ialah kalangan Nasioalis dan Komunis (PKI) yang dimotori oleh D.N. Aidit. Bahkan beberapa partai seperti Masyumi dan PSI dibubarkan oleh pemerintah dengan tuduhan kontra revolusioer. Selesai era demokrasi terpimpin, maka sejarah mencatat orde baru yang dipimpin oleh Suharto menjadi bagian dari perjalanan bangsa.


Berkuasanya orde baru tak pelak dari konflik aliran yang menguat pada masa itu, dimana kalangan militer menganggap komuisme dapat mengancam keberadaan Pancasila sebagai ideology Bangsa, hal ini tidak terlepas dari perolehan hasil suara pemilu 1955 dimana PKI berada pada posisi strategis dan berkembang secara pesat. Maka atas kewenangan Soeharto sebagai menteri Perahanan membubarkan paksa PKI pada tahu 1965, dan orang-orang yang berkaitan dengan PKI ditagkap, bahkan dari beberapa sumber pemberangusan dilakukan dengan pembantaian, kemudian dikuatkan dengan keluarnya TAP MPRS XXV/1966 yang membuat kalangan komunis makin terpuruk. Dengan cara inilah melenggangkan Suharto naik pada tahta Presiden Republik Indonesia selama 32 tahun.


Politik orde baru, pada awal pemerintahannya mendapat begitu banyak guncangan, sehingga menyebabkan Suharto melakukan kebijakan-kebijakan radikal, diantaranya adalah dilakukannya fusi partai pada tahun 1973, dicetuskan asas tuggal pancasila dan pelarangan-pelarangan organisasi kritis. Kebijakan pengekangan Orde Baru mengakibatkan menguatnya koflik yang berujung pada peristiwa malaria tahun 1974, peristiwa tanjung priuk tahun 1984, kuda tuli 1996 sampai kepada reformasi 1998.


Era orde baru juga disebut era emasnya kaum abangan pada masa modern, dimana melalui kebijakannya Orde Baru menyetujui berdiriya Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), akan tetapi praktiknya dengan adanya LDII membuat fenomena kaum abangan semakin merebak, dalam arti penyakit Tahayul, Bida dan Kuarafat semakin kuat dalam ritual-ritual budaya, terutama budaya Jawa.


Masa-masa potitik orde baru sering diidentikan dengan Golkar, hal ini juga ditunjukkan dengan kemenangan Gokar tujuh kali berturut-turut dalam masa Orde Baru. Hal ini disebabkan dibubarkannya parai peserta pemilu dari sekian banyaknya difusikan menjadi tiga partai. Partai yang berhaluan Nasionalis difusikan kepada PDI, partai yang bernafaskan islam bergabung pada PPP, sedangkan Golkar berdiri sendiri dengan mengusung kekaryaan (terdiri dari pegawai negeri, Ormas-ormas, militer dan kalangan golongan-golongan yang tidak termasuk dalam kedua aliran yang disebutkan). Dengan cara ini Orde Baru berasil melenggang selama 32 tahun.


Keluar dari kejayaan Orde Baru dan masuk kepada Reformasi, muncul kekuatan politik baru yang mengusung kebangsaan, selajutnya menetapkan jati dirinya sebagai partai Nasionalis-Religius yaitu PKB dan PAN yang diprakarsai oleh tokoh/pemuka agama Islam, yaitu K.H. Abdurrahman Wahid dari NU dan Amien Rais sebagai tokoh Muhammadiyah. Jika dtinjau dari nama yang digunakan jelas kedua partai ini mengusung semangat kebangsaan yang begitu kuat. Hal ini tak pelak dari latar belakang historis kedua golongan Islam terbesar di Indonesia. Sehingga perolehan suara pada pemilu 1999 cukup signifikan sebagai partai baru (menempatkan posisi ke 3 & ke 5 teratas), hal ini materi yang diusung dianggap menjadi aternatif baru dari aliran poltik yang sudah ada. Nasionalis-Religius menjadi aliran pilihan baru pada alir pemikiran modern, yang menandakan adanya cita-cita bangsa Indonesia yang menambakan kesatuan kebangsaan di tanah air.


Jika ditinjau dari keberadaannya, memang Partai yang berhaluan Nasionalis-Religius tidak dapat ditemukan dalam kajian komprehensif sejarah Indonesia, hanya baru dapat kita temukan pasca lengsernya Orde Baru. Banyak kalangan juga yang mengatakan Nasionalis-Religius tidak lebih dari jargon, karena tak akan pernah sesuai dari fakta sejarah yang tersedia.

Apapun anggapan terkait Nasionalis-Religius, faktanya saat ini ada dan aktif sebagai kekuatan politik modern Indonesia. Namun dalam perjalanannya idealisme aliran partai politik ini begitu samar. Artinya, tidak memegang teguh prinsip dari platform yang diusungnya, terutama pada saat momentum pemilihan umum. Partai yang berhaluan Islam sah-sah saja melakukan koalisi dengan partai manapun jika dianggap menguntungkan, terutama dari segi basis suara, begitu pula partai yang dikenal dengan Nasionalis-Religius. Semua partai pada era ini lebih dekat kepada oportunitas (mengambil celah keuntungan). Hal tersbut dapat dilihat pada pemilu 2004 sampai 2014 lalu, dimana ketika tahun 2004 muncul partai baru (Demokrat) yang mengusung jargon Nasionalisme-Religius, namun kelahirannya sama sekali tidak dilatarbelakangi oleh kalangan agamis seperti PAN dan PKB, akan tetapi berdiri atas kaum-kaum terpelajar didikan Barat disokong oleh beberapa purnawirawan militer, sehingga basis Nasionalisme-Religiusnya diragukan banyak kalangan, walaupun tertera jelas dalam AD/ART-nya. Dengan demikian Partai Demokrat berdiri di Indonesia jelas mengambil celah keuntungan dari jargon Nasionalisme-Religiusnya, dapat dilihat perolehan suara partai ini pada tahun 2004 memperoleh lebih dari 7% suara, kemudian tahun 2009 kembali mendudukan ketua dewan Pembina Partai Demokrat pada kursi Presiden Republik Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun