Mohon tunggu...
Zein Muchamad Masykur
Zein Muchamad Masykur Mohon Tunggu... Freelancer - Magister in Aqidah and Islamic Philosophy

Happy, Sad, Repeat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Yang Hilang dari Diri Kita: Refleksi Hari Pendidikan

2 Mei 2024   16:56 Diperbarui: 2 Mei 2024   17:04 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya berikan disclaimer terlebih dahulu bahwa yang akan saya bahas bukanlah sesuatu yang 'besar', tapi sesuatu yang 'penting'. Tidak membahas sistem pendidikan, tidak membahas bagaimana kurikulum berjalan, juga hal-hal rumit lainnya. Akan tetapi lebih pada sesuatu yang mulai hilang dari diri kita sebagai manusia. Hal-hal yang di beberapa negara diajarkan sebagai etika dan turunannya, akan tetapi di beberapa negara dipandang sebagai bahan bakar inovasi. Mungkin kita tidak sadar bahwa hal ini mulai hilang dari diri kita, mungkin beberapa dari kita menganggapnya sebagai hal yang kurang penting, dan beberapa yang lain akan melihatnya sebagai bukti kemajuan zaman.

Hal itu seringkali disebut sebagai penantian. Saya lebih suka mendefinisikannya sebagai kemampuan seseorang untuk menunggu sesuatu. Kemampuan untuk bersabar bahwa segalanya butuh waktu. Kesadaran ini perlahan mulai hilang dari kita, entah disadari atau tidak. Contoh kecil saja, ketika kita sedang mengantre di toilet. Kita lebih suka bermain Smartphone sembari menunggu giliran kita. Ketika sedang mengantre di kasir, kita bermain Smartphone sembari menjinjing barang belanjaan. Terlihat sederhana dan wajar. Akan tetapi justru di situlah kita perlahan-lahan diajarkan untuk lupa pada 'menunggu' dan menikmati penantian tersebut. Lebih memilih untuk mengalihkan pikiran kita pada sesuatu yang kita anggap lebih 'berguna', -bermain Smartphone.

Dari contoh di atas, menunjukkan bahwa kesadaran kita terhadap penantian ini teralihkan pada hal lain. Pikiran kita menjadi tidak lagi fokus terhadap "apa yang sebenarnya sedang saya lakukan sekarang, di momen ini". Kita mungkin sedang mengantre, akan tetapi pikiran kita, kita latih untuk tidak menyadari hal itu. Tidak menyadari bahwa kita sedang menunggu sesuatu, dan tiba-tiba tanpa kita sadari sudah giliran kita. Ketidaksadaran terhadap penantian (mengetahui dan memahami bahwa kita sedang menunggu sesuatu) ini kemudian pada gilirannya menjadi suatu 'nilai' baru bahwa tidak ada lagi yang namanya menunggu. Karena kemudian definisi penantian berubah menjadi "waktu untuk melakukan hal lain", atau "waktu untuk melakukan sesuatu yang kita lihat lebih berguna ketimbang tidak melakukan apapun".

Memang terlihat seakan kita menggunakan waktu kita dengan 'bijak'. Akan tetapi di situlah masalahnya. Kita kemudian menjadi tidak biasa dengan yang namanya menunggu sesuatu, menunggu giliran, dan menikmati penantian. Kita tidak lagi mempertanyakan, "Kenapa saya harus menunggu?", atau "Kenapa saya harus bersabar?", atau "Berapa waktu yang saya punya?". Ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut hilang dari kepala kita, artinya kita juga kehilangan diri kita yang memahami bahwa ada hak orang lain atas waktu yang sama, kehilangan diri yang menyadari bahwa dunia memiliki waktunya masing-masing, dan kehilangan diri yang mengerti bahwa waktu kita di dunia ini terbatas.

Di beberapa negara mengajarkan apa yang namanya "antre" melalui seperangkat pelajaran etika. Cukup sederhana sekali; kita hanya perlu berdiri sampai tiba giliran kita. Akan tetapi ada makna tersembunyi yang lain yang diajarkan melalui mengantre ini. Pertama, bahwa setiap orang memiliki hak atas waktu. Dengan mengantre, artinya kita sedang menghargai hak waktu milik orang lain. Kedua, dengan mengantre, kita sedang belajar bahwa dunia memiliki waktunya sendiri-sendiri. dan dunia memiliki keterbatasan terhadap keinginan kita. Semua butuh waktu. Bahkan mie instan pun butuh waktu, butuh proses. Ketiga, dengan mengantre, kita diajarkan bahwa waktu yang kita memiliki terbatas dan kita pun memiliki momen kita sendiri. Entah momen bahagia atau momen sedih. Siap atau tidak siap, jika sudah tiba giliran kita, maka kita harus maju dan harus menghadapinya. Keempat, dengan mengantre, kita diajarkan bahwa semua ada urutannya, ada prosesnya masing-masing dalam waktu tertentu. Siang tidak akan mendahului malam dan malam tidak akan mendahului siang. Semua berada dalam urutannya masing-masing. Bahkan dalam teori penciptaan, Tuhan pun butuh waktu sekian hari untuk menciptakan alam raya yang indah ini.

Sedangkan yang terjadi pada diri kita baru-baru ini. Kita mulai tidak diajarkan oleh diri kita sendiri tentang memaknai penantian ini. Alih-alih menikmati penantian, pikiran kita disibukkan dengan gawai dengan dalih memperbanyak informasi. Nyatanya, kita tidak lagi menghitung berapa short video yang sudah kita tonton hari ini dan tidak sampai 1% informasinya yang benar-benar bermanfaat. Bahkan, dari 10 short video terakhir yang kita tonton, kita tidak bisa mengingat setengahnya. Hilangnya pemaknaan terhadap penantian ini perlahan tapi pasti mengarahkan kita pada jurang ketidaksabaran dan ketidaksadaran. Kita menjadi pribadi yang tidak tahu apa makna dari penantian, menunggu waktu, dan akhirnya menjadi pribadi yang tidak sabaran terhadap banyak hal. Bahkan, kita menjadi pribadi yang tidak lagi menikmati momen. Tubuh kita ada di tempat tersebut, akan tetapi pikiran dan hati kita ada di dunia yang lain. Terlatih untuk apatis terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Masa bodo dengan momen dan orang-orang yang membersamai kita.

Ini berbahaya! Awalnya kita tidak menghargai momen, lalu tidak menghargai waktu, dan berakhir pada tidak menghargai orang lain. Paling parah, tidak lagi menghargai diri kita sendiri. Kita berhenti menghitung berapa lama waktu yang masih kita miliki. Kita berhenti menghitung berapa orang-orang yang berharga di sekitar kita dan menyayangi kita. Tentu sikap tidak menghargai pada banyak hal ini membawa kita pada arah yang salah, jalan yang sesat.

Agama, pengetahuan umum serta budaya mengajarkan agar kita senantiasa menghargai waktu dan menghargai orang lain. Menghargai pertemuan dan menghargai perjalanan. Menghargai keluarga dan menghargai teman. Akan tetapi dari satu hal ini; bermain gadget, kita kehilangan semuanya. Kita kehilangan waktu kita untuk beristirahat dari penatnya hidup (karenanya banyak isu mental health karena waktu yang seharusnya mereka pakai untuk istirahat fisik-psikis malah dipergunakan untuk membandingkan diri mereka dengan orang lain lewat sosial media), kita kehilangan orang-orang yang kita sayangi, kita kehilangan momen pertemuan yang berharga dengan mereka, kita kehilangan teman-teman yang berharga, kita kehilangan momen perjalanan yang seharusnya kita nikmati, dan kehilangan hal-hal lain yang berharga lainnya. Semuanya perlahan menghilang dari diri kita.

Dan beginilah diri kita sekarang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun