Mohon tunggu...
Sekarwati
Sekarwati Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pembakaran Bendera, Aksi Bela Tauhid dan Kepentingan Politik Menjelang Pemilu 2019

27 Oktober 2018   11:32 Diperbarui: 27 Oktober 2018   12:07 913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Bela Tauhid di Jakarta (foto: kompas.com)

Antara pembakaran bendera HTI, panasnya linimasa warganet, dan Aksi Bela Tauhid adalah rangkaian yang tak terpisah. Ketiganya diduga kuat bermotif politis, bukan bela agama sebagaimana yang digaungkan selama ini.

Polemik mengenai pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bermula ketika Barisan Ansor Serbaguna NU (Banser NU) merampas dan membakar bendera berkalimat tauhid khas organisasi terlarang itu pada perayaan HSN 2018 di Garut Jawa Barat. Padahal, sebelumnya telah ada kesepakatan bahwa hanya boleh ada bendera Merah Putih ketika Hari Santri dirayakan.

Pengibaran bendera HTI itu sendiri terbukti dilakukan secara sengaja guna memprovokasi kelompok lainnya. Uus Sukmana, pelaku pengibaran bendera HTI, mengakui bahwa dirinya sengaja menyusup di barisan santri untuk mengibarkan bendera berwarna hitam itu.

Uus bukanlah orang bodoh yang tak paham aksinya. Dari hasil pemeriksaan, Uus mengaku tahu bendera yang dibawa dan dikibarkannya, hingga akhirnya dibakar anggota Banser itu, merupakan bendera HTI. Dia membeli atribut HTI itu secara online dari Facebook.

Menurut pengakuannya pula, Uus pernah mengikuti aksi-aksi yang digelar HTI. Dia secara terang-terangan menyebut dirinya adalah simpatisan organisasi pengusung paham khilafah itu. Bahkan dirinya juga ikut aksi 212 di Jakarta pada 2016 lalu.

Diduga kuat aksi Uus ini tak sendiri, namun juga diikuti oleh kader dan simpatisan HTI lainnya. Hal ini sesuai dengan investigasi dari Tim Pencari Fakta (TPF) PBNU, dimana menunjukkan bahwa aksi pengibaran dan pemasangan bendera HTI itu terjadi di berbagai lokasi yang merata hampir seluruh wilayah Jawa Barat, seperti Sumedang, Kuningan, Ciamis, Banjar, Bandung, Tasikmalaya, dan lain-lain.

Dengan begitu, PBNU menilai ada upaya sistematis untuk memprovokasi acara tersebut. Tindakan Banser NU di perayaan HSN 2018 itu murni aksi spontan merespon berkibarnya atribut yang kerap digunakan oleh organisasi terlarang di bumi NKRI.

Tindakan anggota Banser Garut itu didasari oleh rasa cinta Tanah Air. Tidak ada landasan kebencian personal maupun kelompok, apalagi dimaksudkan untuk melecehkan atau menodai agama. Itu sebatas semangat untuk mencintai Tanah Air untuk mencegah gerakan-gerakan yang ingin mengganti konstitusi dan bentuk negara.

Meskipun demikian, banyak pihak menyayangkan peristiwa pembakaran bendera itu. Hal itu dinilai berlebihan. Oleh karenanya, oknum Banser NU yang membakar bendera itu meminta maaf.

Pasca Pembakaran Bendera

Ternyata eskalasi isu pembakaran bendera tauhid itu tak berhenti di sini. Aksi pembakaran bendera HTI itu spontan menjadi ramai diperbincangkan di media sosial. Beragam spekulasi dilemparkan, dari mulai pelecehan agama hingga anggapan memancing perang umat Islam.

Ungkapan maaf dan penjelasan kronologis dari aksi pembakaran bendera itu tak dihiraukan sama sekali. Warganet telah menjadi hakim di linimasa.

Isu yang diangkat adalah pembakaran bendera ini bukan soal bendera HTI, melainkan pembakaran bendera tauhid. Simbol umat Islam. Mereka yang telah melakukannya berarti telah menghina agama Islam.

Menariknya, dari pantauan di media sosial, terlihat mereka yang ramai dalam isu pembakaran bendera HTI ini memiliki keterkaitan dengan kubu yang dulu mendorong adanya penghukuman bagi Mantan Gubernur DKI Jakarta atas dugaan penistaan agama. Hashtag yang diangkat pun juga berkaitan dengan tagar #2019GantiPresiden.

Mengapa demikian? Sebab, banyak diantara 'penggoreng' isu ini, sembari mengagitasi warganet dengan argumentasi kebencian dan isu SARA, juga mempromosikan gerakan #2019GantiPresiden. Mereka adalah satu kubu yang sama.

Ujung-ujungnya bisa ditebak, mirip dengan kejadian-kejadian sebelumnya, insiden pembakaran bendera itu didorong menjadi aksi massa. Para buzzer dan pasukan siber bekerja guna mengarahkan publik agar ada demonstrasi besar-besaran terkait pembakaran bendera ini. Kalau bisa sampai berjilid-jilid.

Aksi Politis?

Beberapa hari pasca pembakaran bendera itu, Aksi Bela Tauhid pun diumumkan di media sosial. Sebagian warganet beramai-ramai menyebarkan poster dan pesan berantai terkait ajakan dan seruan aksi ini.

Mereka berusaha meyakinkan masyarakat umum bahwa aksi ini murni untuk membela agama, dan juga kalimat tauhid yang telah dibakar oleh Banser NU.

Namun, kenyataan berbicara lain. Fakta bahwa ada dorongan politis dalam Aksi Bela Tauhid itu tak bisa disangkal. Beberapa bukti menunjukkan bahwa aksi ini lebih dilatarbelakangi kepentingan politik, dibandingkan membela agama.

Hal itu bisa ditelusuri dari beberapa bukti, pertama, inisiator Aksi Bela Tauhid ini rata-rata adalah pendukung capres tertentu. Mereka juga kubu yang sama ketika aksi 411 dan 212 digelar di jakarta.

Kedua, muncul simbol-simbol wajah Prabowo dan Sandi dalam Aksi Bela Tauhid. Mobil bergambar wajah Prabowo-Sandi terlihat mondar-mandir dan menjadi lokasi selfie paling disasar.

Ketiga, adanya ajakan untuk ganti presiden dari orator aksi. Orasi dalam Aksi Bela Tauhid itu diisi dengan anjuran untuk tidak memilih Jokowi sebagai presiden lagi dalam Pemilu 2019.

Isu yang dibangun para inisiator Aksi Bela Tauhid pun terlihat menyalahkan pemerintah yang terkesan diam atas insiden pembakaran bendera tersebut. Mereka juga menyebut bahwa pemerintahan Jokowi ini pro-pembakar bendera, sehingga sama saja bahwa rezim Jokowi ini adalah musuh agama Islam, musuh umat Islam.

Ya, seperti itulah isu yang hendak dibangun. Taktik ini persis seperti yang dilakukan untuk menggulingkan Basuki Tjahaja Purnama ketika Pilkada DKI Jakarta lalu.

Melihat kemiripan kasus ini, maka sulit bagi kita untuk membantah bahwa inisiden pembakaran bendera HTI di atas hendak 'digoreng' dengan provokasi isu SARA dan ujaran kebencian guna menjatuhkan nama dan posisi Jokowi sebagai Capres petahana. Tak salah lagi, Jokowi berusaha di-Ahok-kan.

Quo Vadis Pemilu 2019: Isu Sara vs Kompetisi Sehat?

Diakui atau tidak, kita saat ini berada di persimpangan jalan untuk membawa arah republik ini. Selain memilih Presiden, kita juga berada di antara simpangan jalan soal cara berpolitik.

Apakah kita akan berkompetisi dengan terus berbasis Isu SARA dan kebencian, atau pilihan rasional sebagaimana yang ditawarkan oleh sistem demokrasi. Tindakan kita untuk merapat ke dalam satu kubu tertentu akan menentukan orientasi cara berpolitik ini.

Pemilu 2019 ini juga akan menjadi pilihan bagi kita, apakah momentum ini akan digunakan untuk memperkuat bangunan kebangsaan, nasionalisme, dan kebhinekaan, atau hanya sekadar lips service berbasiskan kebencian identitas dan SARA?

Kita yang akan menentukan sendiri setelah melihat penjelasan di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun