Mohon tunggu...
Ziwenk Iskra
Ziwenk Iskra Mohon Tunggu... -

Aku penulis amatir yang tak terlatih menulis seperti para Akademisi di dalam ruang kelas, dari kecil sampai besar sekolah bukan tempatku. Yang aku punya dalam menulis hanya la kejujuran dan keberpihakan ku kepada rakyat yang tertindas. Menulis tanggung jawabku pada kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rembulan Tak Lagi Bersamamu

27 Februari 2014   02:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:26 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Awalnya tak ingin aku menulis tentang ini, sebuah cerita yang tentunya akan mengabarkan kejahatan manusia atas manusia lainnya, sebagian orang mungkin akan jengah mendengar cerita ini. Tapi tak aku pikirkan sebagian orang itu, keteguhanku bukan untuk mereka, hanya saja mereka juga perlu membaca kisah ini, walaupun mereka anggap ini tak penting, karena kejahatan itu jauh dari dekap lingkungan mereka , yang setiap harinya di kawal, para jawara berseragam rapi. Tapi sesungguhnya kisah ini untuk kalian yang terbelenggu ketakutan, atas kuasa terhadap tubuh, dan tergerusnya naluri keberanian pada diri kalian, yang dirampas oleh sekolompok manusia berhati keji dan berhianat pada kemanusian.

Kereta mulai berjalan meninggalkan stasiun tempatku menunggu keberangkatan menuju kota yang di kenang dalam catatan sejarah, sebagai tempat yang menyimpan peristiwa penting dari negeriku yang kaya raya, kota pelajar yang di kenal penghuninya haus akan pengetahuan, namun masih tunduk pada kekuasaan Feodal, daerah yang aneh, ilmiah dan kolot menyatu padu tanpa ruang, bergelut mencari kesamaan, hingga perbedaan di anggap tak penting di banyak mata orang, perbedaan Raja yang duduk manis dengan buah-buahan segar menemani, di kursi maha kuasanya yang berlapis emas dari butiran jerit tangis rakyat. Sementara rakyatnya menjerit histeri mempertahankan tanah lelulur dari rampasan pemodal besar di ujung selatan sana, sebuah tempat yang berkisah dongeng kejayaannya Nyai ‘Perempuan Hebat’,dijuluki masyarakat setempat penguasa pantai selatan.

Gerbong kereta yang aku tumpangi penuh sesak, tak ada bangku yang tersisa, semua di padati para pemudik yang ingin kembali dari kota kelahiran menuju gelanggang pertarungan di ibu kota, dan aku nanti akan turun di pertengahan jalan kereta, tepatnya di daerah yang menghapus perbedaan tadi, yang aku katakan di atas. “Panas banget ini kereta”. Bersit salah satu temanku yang duduk di sampingku, sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan beberapa kertas yang dia ubah fungsi menjadi kipas, agar dia nyeyak tidur dalam perjalanan panjang menuju negeri dongeng tidurnya.

Anak-anak penumpang lain berlari-lari dari satu bangku ke bangku lain mengintip dari jendela kereta, melihat sawah yang tinggal beberapa petak di hadapannya, sebab ribuan hektarnya sudah berubah menjadi pabrik, corong asap mengepulkan kabut hitam yang hanya terlihat di mata anak-anak itu, masa kecilnya sudah diperlihatkan oleh hitamnya corong asap yang pekat merampas tanah petani di pinggiran rell kereta.

Asap hitam yang keluar dari corong asap pabrik, mengelilingi spanduk-spanduk caleg (calon legislatif) yang tegak berdiri di setiap gapura desa, sepertinya asap itu mengabarkan satu sandi yang harus di ketahui petani desa, orang-orang yang menempel di spanduk itu hanyalah boneka setan, yang di tutup manisnya songkok, dan indahnya jilbab bila di pakai dengan lipstik merah delima, mempesona siapa saja yang melihatnya, para perempuan kaya yang menggelontorkan banyak uang, untuk wajahnya di tempel di sepanduk caleg (calon legislatif), dan semoga rakyat tak tertipu oleh kerudung merah jambu yang menutup kepala boneka itu.

Payah!, para temanku sudah tertidur pulas di dalam gerbong yang begitu panas, AC nya mati, mungkin karena ini kelas terendah kereta api, perawatannya pun sangat minim di perhatikan, sudah menjadi hal biasa di negeriku yang alamnya kaya raya, sebuah selogan yang masih terlaksana di negeri ku, Harga murah, kualitas parah.

Rasa ngantuk tak menyelimutiku, untuk mengusir jenuh di dalam gerbong, aku mengambil sebuah buku yang berada dalam tas ku, buku yang ditulis oleh sastrawan terkemuka negeriku, berjudul “Perawan remaja dalam cengkraman militer”. Buku yang beraliran novel ini mampu membuatku bertahan dari rongrongan panas yang menetap di gerbong kereta.

Pelan melambai satu persatu lembar kertas di dalam buku betakjub novel ini aku lumat hingga di akhir cerita, sehentak mataku terpejam, mengiang-ngiang kesengsaraan yang di ceritakan novel ini. Tak perlu banyak waktu untuk membacanya, alur cerita dan estetika tulisannya mampu merasukku untuk tenggelam bersama ceritanya. Air mata tak aku harapkan menetes dari mataku, yang masih setia terbuka melihat kesengsaraan di negeriku saat ini, masa lampau dan masa depan yang aku harap jauh lebih indah, alam dan manusianya menyatu tanpa merusak secara brutal seperti yang di lakukan para petinggi negeri, novel ini menceritakan sejarah kelam bangsa Nation, bangsa baru yang bertempat di Nusantara, sebuah bangsa yang berkali-kali menjadi tempat basah untuk di jajah dan di keruk buminya, sejarah bangsaku yang begitu tragis, seperti bola yang di oper dari satu penjajah ke penjajah lainya, penghuninya pada kemana? Masih sembunyi di kantong-kantong kesejahteraan. Penulis novel begitu dettail menggambarkan sejarah dalam kurun 1943-1945 menimpa sebagian besar anak bangsa, yang saat itu punya cita-cita besar membangun bangsanya, namun pada akhirnya berganti pada kesengsaaraan karena hilang kuasa atas tubuhnya.

Di tahun itu, saat para penjajah fasis Jepang berhasil menguasai Nusantara, mereka menyebarkan rayuan segar untuk bangsa kita, sebagian besar tertipu dengan rayuan itu, termasuk para tokoh negeri. Ada juga sebagian kecil yang meragukan rayuan itu, namun telah kalah oleh ancaman bedil, dengan kesedihan para orang tua melepas anak-anak remajanya untuk terbawa arus rayuan dusta dari fasis Jepang.

Rayuan itu berbunyi seperti ini. “Jepang dengan niat baik akan memberi kemerdekaan kepada Hindia belanda (Indonesia), dalam mempersiapkan pemimpin bangsa maka jepang akan memberi keleluasaan untuk para remaja putri sekolah di Tokyo dan Singapoer”. Tak lebih begitu rayuan dusta fasis jepang yang dibumingkan di telinga pribumi, tapi apa yang terjadi sesungguhnya, kesedihan dan kekalahanlah yang bertaburan di bumi Nusantara.

Kemerdekaan yang di katakan para penjajah dari Negara matahari terbit itu adalah kemunafikan belaka yang tertuang di dalam misi pengerukan sumber daya alam dan sumber daya manusia pribumi yang mereka paksa untuk bekerja dalam sistem biadap romusha.

Jutaan rakyat tersiksa oleh sistem itu, tak sedikit yang mati kelaparan, kesengsaraan itu akhirnya membuat mata para tokoh bangsa terbuka, menyadari bahwa negerinya tetap di dalam kubangan sampah yang terus di daur ulang penindasannya.

Tetapi novel ini hanya fokus menceritakan remaja perempuan tertipu janji Jepang, ribuan orang dari remaja Nusantara harus angkat kaki dari rumahnya dengan terpaksa menyerahkan dirinya untuk masuk di dalam cengkraman penjajah.

Sekolah tak mereka dapati, para perawan remaja di tipu mentah-mentah oleh penjajah bengis, mereka bukan ke Jepang, sebagian besar dari mereka di ungsikan ke pulau yang jauh dari kampung halamannya, untuk di jadikan pemuas nafsu yang harus setia melayani setiap saat para perajurit jepang yang haus akan kesenangan birahi, Biadap, negeriku di regut kehormatannya!.

Ribuan orang dari mereka berasal dari pulau padi, mereka di bawa oleh kapal-kapal Jepang. Tanpa membawa bekal yang cukup, para perawan remaja itu memasuki gedek kapal dengan rasa was-was yang menggila. Berhari-hari mereka di dalam gedek kapal, dalam perjalanan lautan yang begitu panjang, membuat sebagian mereka jatuh sakit, namun tak ada yang peduli, mereka sendiri lah yang harus berpikir bagaimana cara untuk bertahan hidup hingga sampai tujuan yang masih mereka ragukan kebenaran janji fasis Jepang itu.

Setelah beberapa hari berlayar di lautan bebas, akhirnya dengan badan yang sakit-sakittan, kapal mereka menyandar di suatu pulau yang berada di timur Nusantara. Pulau Buruh namanya tempat yang biasa di pergunakan para penguasa untuk mengasingkan orang-orang yang tak sepaham padanya.

Para perawan itu turun satu persatu dari kapal yang mengangkut mereka dari tanah leluhurnya, tak sedikit dari mereka yang kebingungan melihat sekelilingnya, pulau yang sepi dan balatentara fasis yang sumuringah wajahnya menyambut kedatangan mereka, gadis malang, perawan remaja negeriku.

Dengan sergap balatentara fasis Jepang menyambut remaja yang baru saja selesai mengarungi lautan luas dalam perjalanan yang jauh, satu persatu balatentara belarian mengejar remaja-remaja Nusantara, seperti kucing yang di tawarkan ikan, dengan kumis tebal balatentara Jepang menyantapnya.

Remaja-remaja itu belarian tak tentu arah, berteriak-teriak menangis tak henti-henti di dalam tenda tentara, karena seluruh tubuhnya di paksa terbujur kaku di tindih para tentara biadap dari negeri matahari. Mereka di jadikan pemuas nafsu, nenek moyangku yang kehilangan kuasa atas tubuhnya, remaja hebat yang sanggup menahan luka kesengsaraan akibat dari keliruan para tokoh negeri saat itu.

Jeritan berasal dari dalam tenda tentara itu hampir setiap hari terdengar, remaja-remaja lugu itu tak pernah di biarkan menghirup udara segar, hanya nafas bau busuk mulut tentara jepang yang dia hirup setiap kali tentara jepang memaksa mereka untuk jadi korban budak nafsu.

Perang dunia kedua ketika Jepang menyerah dari Amerika dan sekutunya, terjadi kekosongan kekuasaan di hindia belanda, Jepang pergi kembali ke negerinya sementara para ribuan remaja itu di biarkan terlantar di pulau yang sama sekali tak ia kenal. Kepergian Jepang belum menyelesaikan kesengsaraan mereka, keterbatasan yang membuat mereka begitu gampang di jadikan istri oleh masyarakat pribumi di Pulau buruh, suku alfuruh yang paling banyak menikahi para remaja pulau padi itu, dengan catatan dia harus menghilangkan identitas bangsanya, dan kuasa terhadap tubuhnya, tak pernah remaja-remaja itu bicara dengan orang lain kecuali masyarakat asli setempat, bahasa dari nenek moyang mereka juga tak boleh di pergunakan, para remaja harus patuh mengikuti perintah suaminya, dan tubuhnya setelah di rampas oleh tentara jepang juga tak kembali seutuhnya untuknya, para remaja itu masih hidup di dalam tubuh yang di kuasai oleh suaminya, sebab di dalam masyarakat setempat, istri adalah harta, yang terserah mereka di pergunakan untuk apa saja, lagi-lagi para remaja itu kehilangan kuasa atas dirinya.

Kehilangan kuasa terhadap dirinya, hilang karena keterbatasannya menyatu terhadap alamnya, yang di manfaatkan oleh beberapa masyarakat setempat sebagai ajang untuk memiliki istri baru, satu sampai dua, mereka para masyarakat setempat yang menentukan, gadis remaja itu tak punya hak, bahkan sampai saat ini tak ada hak yang di berikan oleh Negara kepada mereka, seakan sejarah itu tenggelam bersama kekalahan Jepang di bumi nusantara.

“Ayok turun”. Ucap temanku yang tak aku sadari sudah terbangun dari tidurnya, ternyata kereta yang aku tumpangi sudah sampai tujuan, di negeri keraton.

Novel itu aku kembalikan ke dalam tas sampingku, yang selalu aku bawa kemana pun, saat aku sedang beraktivitas layaknya manusia.

“Sampai juga di jogja”. Kata-kata dari salah satu temanku, yang badannya terasa sakit sehabis tidur dalam perjalanan kereta yang begitu panas.

“Taksi mas”. Tawaran dari supir taksi

“Tidak pak”, jawab teman ku dengan lembut.

Kami memang sudah janji dengan teman baikku di kota ini untuk meringankan kakinya menjemput kami di stasiun. Sembari menunggu temanku, ada baiknya aku berpikir saat itu untuk membaca habis novel yang sudah di ujung cerita. Novel ini begitu halus mengantarkan aku untuk mengingat masa lalu yang tercatat, aku dan perempuan hebat dalam gelutan malam yang mengais kegundahan sampai saat ini.

Perempuan hebat itu bernama Sari, berumur 21 tahun saat kenal dengan ku, dia datang dari daratan pulau padi, wajahnya lembut, membuat mata siapa saja jatuh hati dengannya, matanya sedikit sipit, dengan kelopak mata yang melengkung, di balut kulit putih yang cerah. Perempuan hebat itu aku kenal beberapa tahun lalu, saat aku masih menjadi mahasiswa baru di kampusku yang membosankan.

Tepat pada tanggal 8 Maret 2011 aku mendapati telepon dari kakak perempuan itu, dengan terseduh-seduh kakaknya bicara, tak begitu jelas aku mendengarnya, kata terakhir yang aku dengar darinya. “Cepat kemari, di hotel dalam kota”. Dengan motor tua yang aku miliki, kaki aku pacu menuju alamat yang di berikannya. Sampai di hotel itu, kerumunan orang padati mobil jenajah, dan polisi sebagian sibuk memeriksakamar hotel dan sebagiannya mengawasi lalu lintas, dengan bingung aku bertanya pada salah satu polisi itu. “Ada apa ini pak?”. Tanyaku pada salah satu polisi yang berjaga. “Baru saja ada pemerkosaan dan pembunuhan”. Jawabnya. Darahku mengalir turun mendengar jawaban polisi itu, rasa penasaran memaksaku mendekatkan diri dengan mobil jenajah, dan bersusah payah melihat mayat yang ada di dalamnya.

Kudapati dalam mobil jenazah, kakak sari berada di dalamnya dengan tangisan yang merontah-rontah. “Kak ada apa?”. Aku tanya kakak sari yang menangis. “Sari dek, hidupnya begitu sengsara”. Setelah bicara dia buka kain penutup jenajah itu. Di balik kain putih itu ternyata Sari dengan luka bekas sayatan compang samping di wajah dan tubuhnya, kembali darahku berdesir turun, rasa marah di dadaku seperti api yang ingin membakar siapa saja di depannya. “Siapa melakukan ini kak?”. “Pelanggannya dek”. Ia jawab sambil menangis.

Seluruh tubuh terasa lemas mendapati kabar dan melihat lansung perempuan hebatku mati terbujur kaku dengan sayatan botol di wajah dan beberapa bagian tubuhnya.

Aku tinggal lokasi hotel itu, berlari sekencang mungkin meninggalkan tempat itu, lari dari kenyataan, yang baru aku sadari saat ini itu adalah kejahatan.

Sudah berapa tahun peristiwa berlalu, namun sedikitpun belum dapat aku hapus dari ingatanku. Perempuan hebat itu banyak menyisahkan sejarah dalam kehidupanku, betul dia perempuan panggilan, yang tentu berbeda dengan anak gedongan yang centil di dalam istana megah. Perempuan hebat itu bukanlah anak dari siapa-siapa di negeri ini, dari umur 11 tahun ia sudah di tinggal oleh kedua orang tuanya karena longsor melanda rumahnya, ia dan kakaknya mencari makan sendiri dengan menawarkan jasa menyuci di kampung tempat ia tinggal.Berjalan dewasa perempuan hebat itu berangkat ke kota, dengan niat melanjutkan sekolah ke jenjang sarjana walau ia harus menggadaikan tubuhnya kepada laki-laki yang kekurangan dahaga dari istrinya sendiri. Dia begitu bertekat menjadi seorang penolong untuk keluarganya, sebab dia masih memiliki dua adik yang dia titipkan kepada bibinya di kampung, untuk membiayai adik-adiknya, ia menggadekan dirinya, sekaligus untuk memenuhi tekatnya meluluskan jenjang sarjananya, agar dia dapat menjadi orang yang memenuhi kebutuhan keluarganya, pertarungan yang sengit dia lalui di muka bumi ini, dengan selogan yang selalu ia sebut di hadapan ku, untuk menyakinkan aku, pekerjaannya tak membahayakan untuknya, “Rembulan itu harus di raih, sebab dia tak pernah datang sendiri”. Selogan itu lah sebagai amunisinya untuk meluluhkanku setiap aku ingin melarangnya menjumpai para pelanggan jasanya.

Perempuan hebat itu kekasihku yang harus terjerumus ke tempat yang begitu mengerikan untuk dilalui, bukan dia tak peduli terhadap moral, tapi perutnya dan keluarganya perlu makan, dia juga mempunyai cita-cita yang tak di beri penguasa negeri, jangan bicara moral dengannya, dia hidup penuh moral, yang setiap harinya berpikir bukan untuk dirinya, tak seperti para perempuan kaya yang selalu sibuk berdandan cantik agar di katakan seksi di depan kerumunan orang-orang munafik.

Perempuan hebat itu teman hidupku, yang selalu mengajarkan padaku tentang sebuah negeri yang terpenjara kebohongan!. Dia lah mengajarkanku kalau rembulan tak lagi bersama kaumnya sejak lahirnya kepemilikan peribadi, perempuan di anggap barang dagangan yang dapat di miliki bersama, kemolekan tubuhnya. Di akhir pertemuan kami, malam terakhir saat aku menemuinya ia katakan padaku. ”Sebentar aku keluar”. “Kau mau kemana”? “Mengejar rembulan”. Ia jawab. “Aku akan mengejarnya dengan keberanian yang jujur”. kata-katanya di akhir pertemua kami.

“Woy boy”. Teguran temanku saat mendapati ku sedang melamun. “Itu dia boy udah datang, ayo cabut”. Lanjut temanku. Jemputan ku sudah sampai, dengan rasa duka, aku buang kertas yang sempat ku tulis beberapa sajak puisi untuk kupu-kupu bajaku.

Pena: Ziwenk. (Penulis sehari-hari bekerja di kebun, dia punya cita-cita untuk menebar kehijauan di seantero bumi)

Rujukan: Buku "Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer". Penulis Pramodea ananta toer.

http://tikusmerah.com/?p=119 (Sisterhood dan sekerat roti)

http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/02/rangkuman-untuk-pengatar-sederhana-asal.html?spref=fb

http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/01/fenomena-perempuan-menjadi-caleg-calon_3873.html?spref=fb

http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/01/perempuan-dalam-belenggu-neoberalisme.hhttp:

//politik.kompasiana.com/2014/02/23/kami-warga-parang-kusumo-634123.htmltml?spref=fb




Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun