"Maafin Intan, Ma ... Intan juga ingin disayang mama seperti Mas Bimo!"Aku merengek seperti anak kecil menangis minta dibelikan mainan di mall.
"Pergi! Jangan pernah kau tunjukkan mukamu lagi di hadapanku!" Perempuan itu mengarahkan ujung telunjuknya tepat di keningku yang berjarak hanya dua centi meter saja dengan penuh amarah.
Sejak saat itu, hari-hari kulewati terasa begitu berat dan sepi. Aku seolah terombang-ambing di tengah lautan yang disertai badai siap menghantam apa pun di depannya.
Tidak ada lagi kebahagiaan yang dulu kudapati di rumah ini. Inginku menghapus semua kenangan indah yang sempat singgah dalam kalbu. Namun,Â
begitu mengiris, perih, dan menghujam merahnya bongkahan dalam dada ini? Oh, Sang Pemilik Hidup.
Kecelakaan itu telah merenggut bahagiaku yang Engkau titipkan padanya. Bertahun-tahun aku menunggu bahagia itu datang, berharap seorang perempuan yang kusebut Mama mendekap erat tubuh tak berdaya ini.
Semua kenangan yang terukir indah tentang aku dan mama kini telah sirna tak meninggalkan bekas. Tak ada lagi senyuman yang merekah seperti dulu di wajah perempuan yang begitu kusayangi itu.
Aku masih belum lupa akan semua yang terjadi pada saat kecelakaan itu. Saat itu mama dan aku pergi untuk berbelanja keperluan rumah tangga karena beberapa persediaan di sana telah habis.
Setelah selesai belanja kami langsung beranjak pulang ke rumah.
Sesaat di perjalanan sebelum sampai ke persimpangan menuju rumah, tiba-tiba setir mobil mulai bergerak berputar ke arah yang tak beraturan. Tangan mama tampak berusaha memutar arah balik mengendalikan setirnya. Namun, semua usaha tak membuahkan hasil. Setir mobil terus saja berputar semakin cepat.
Sampai akhirnya mobil tidak dapat menentukan arah jalannya. Sontak Aku dikejutkan oleh sesuatu bayangan hitam yang terus menutupi kaca mobil. Semakin dekat hingga mobil kami menghantam bayangan itu dan terpelanting jauh ke terbentur dengan sebuah pohon besar.