Mohon tunggu...
Zia Mukhlis
Zia Mukhlis Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemerhati Pendidikan dan Sosial Budaya

Jurnalis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Pena Menggelitik Dunia

4 September 2019   07:23 Diperbarui: 31 Maret 2020   21:06 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

: wikipedia

Hal menarik untuk diperhatikan dalam politik sebenarnya bukanlah strategi seseorang dalam mencapai kekuasaan, atau kebijakan brilian yang menguntungkan banyak orang, atau bagaimana seorang pemimpin menciptakan sebuah bangunan agung, tidak dan bukan itu. Melainkan yang paling menarik untuk disaksikan oleh masyarakat adalah pidato, dari seorang tokoh politik.

Kita ingat bagaimana pidato Martin Luther King yang berjudul i have a dream. Sebuah mimpi besarnya agar kaumnya yang berkulit gelap mendapatkan hak yang sama di Amerika, "hingga momen itu menjadi monumen", kata Rocky Gerung. Kita ingat juga pidato Abraham Lincon yang menyorakkan penentangan atas perbudakan. 

Dan kita pasti menolak lupa pidato-pidato Ir. Soekarno di forum-forum parlemen baik sebelum Indonesia merdeka, pasca Indonesia merdeka, dan bahkan di forum internasional sekalipun. 

Terlepas dari sisi kelam Ir. Soekarno yang banyak terumbar hari ini, namun tetap jasa presiden pertama kita ini dalam menyatukan bangsa Indonesia yang besar adalah bukanlah manusia sembarangan.

 Kemampuan pidatonya, ketajaman pikirannya dan kemantapan pribadinya telah meluluhkan berbagai kerajaan di bumi nusantara hingga semuanya bersedia bergabung dalam satu payung Indonesia. Tentu akan beda jika tugas ini diemban oleh bukan Ir. Soekarno, bisa jadi kita akan merdeka 20 tahun lebih lambat.

Menarik untuk mengkaji Soekarno dan teman-teman seperjuangannya. 'Generasi Soekarno' adalah generasi awal negara Indonesia, dan bukan sebagai generasi emas negara Indonesia. 

Sebab kita harus meyakini bahwa generasi pertama adalah generasi terbaik dari sebuah bangsa. Sedangkan generasi emas adalah generasi yang lahir jauh sesudah generasi pertama lahir, dan  lahir di tengah problematika negara yang semraut dan kacau. 

Tatangan yang dihadapinya berbeda jauh dengan apa yang dihadapi oleh generasi pertama, saat mereka bisa menyelesaikan problematika negaranya yang kacau dan membawa negaranya ke arah baru yang lebih baik itulah generasi emas sebuah bangsa.

Sesuai dengan ucapan Ir. Soekarno yang mengatakan bahwa musuh di zamannya adalah orang asing, sedangkan musuh kita zaman ini adalah bangsa kita sendiri. Perbedaan tugas itulah yang menjadikan sebuah generasi itu berbeda.

Generasi Soekarno, kita sebut saja demikian sebab generasinya memang tampak berbeda dengan sebelumnya dan sesudahnya. Sangat menarik untuk bisa mempreteli satu generasi ini (gen Soekarno). Yaitu dimana lahir politisi-politisi cerdas nan menarik. Menarik bagaimana? Menarik sebab mereka tampil ke gelanggang dengan corak masing-masing, ada yang nasionalis, ada yang sosialis dan ada yang Islam atau agamis. 

Cerdas bagaimana? ini bukanlah hal yang mesti dijelaskan lagi. Jika bukan karena kecerdasan mereka tentu Indonesia tak akan merdeka, jika bukan karena mereka cerdas tentu Indonesia tak akan mendapatkan pengakuan dari negara asing, duduk sama rata dengan penjajah di forum intenasional, dan yang paling menarik dari kecerdasan mereka adalah mereka menulis!

Saksikanlah wahai calon generasi penerus, bagaimana lantangnya suara politisi generasi Soekarno dan tajamnya siasat mereka, tapi semua itu belum cukup tanpa dobrakan dari pena mereka. 

Ada saat dimana mulut itu akan bungkam dan dibungkam, dan penalah yang bisa berteriak saat itu. Indonesia itu merdeka bukan saja dengan bambu runcing tapi juga dengan pena yang runcing. Nama 'Republik Indonesia' adalah lahir dari ketajaman pena Tan Malaka yang bergema melalui suara barington Soekarno. 

Keberanian menyebut nama Indonesia juga bukan saja dari lisan Soekarno saat berorasi, tapi dari ketajaman pena Bung Hatta, yang berani mengubah nama majalahnya menjadi 'Indonesia Merdeka'. Sejak itu para pemuda dan intelektual Indonesia berani menyorakkan Indonesia Merdeka.

Gagasan tentang Indonesia adalah banyak diadopsi dari pikiran Tan Malaka yang itu diserap oleh Soekarno dan digemakannya, sebab Soekarno adalah pembaca yang baik, dan Tan Malaka adalah perancang negara Indonesia yang baik namun dibuang dari Indonesia. Bisa disimpulkan bahwa  aktor belakang layar dari gagasan negara Indonesia adalah Tan Malaka. 

Coba bayangkan jika Tan Malaka tidak menulis dan hanya berorasi menuntut kemerdekaan dan melawan penjajah mungkin kita akan merdeka 50 tahun lebih lambat dari hari ini. M. Natsir seorang ulama yang politisi juga tak pernah meninggalkan tradisi menulis selama karir politiknya, selain beradu siasat politik secara langsung dengan Soekarno ia juga beradu pena dengan Soekarno. Saat Soekarno menggemakan sebuah ide, yang ide tersebut beretentangan dengan pinsip Islam Natsir maka Natsir juga dengan gema suaranya menolak ide tersebut. 

Saat Soekarno mulai meramu ide tersebut dalam sebuh buku, maka Natsir pun mengcounter ide tersebut dengan bukunya. Begitu asik dinamika politik dan intelektual saat itu, yang adaikan diberi satu kesempatan maka pilihlah untuk kembali ke masa lalu dan saksikan sejarah.

Hingga sampailah kita pada zaman kita hari ini. kecamuk politik bukan saja dipanggungnya malahan sampai ke ibuk-ibuk jualan di pasar. Setiap orang berbicara tentang politik, mulai dari siswa di kelas, mahasiswa yang orasi di jalan, bapak-bapak yang nongkrong di warung, ibuk-ibuk jualan di pasar, dan sepuh yang lelah dengan zaman ini.

 Semuanya menjadi stess dan tertekan memikirkan politik. Berharap adalah seorang yang mengatakan, "tenang, jangan panik, aku akan menyelesaikan masalah pelik ini", hingga hati kita menjadi tenang dan harapan itu kita pangkukan pada pundaknya.

Panggung politik tak lebih seperti omongan agus Salim yaitu "komedi omong" saat mencemooh Volksraad. Dan memang benar seperti itulah kondisi politik kita hari ini. Tak lebih sebagai komedi omong, dimana politisinya hanya ceplas-ceplos dalam berbicara. Tak ada retorika yang baik, sopan santum di depan publik serta gagasan yang dikedepankan. 

Kini semuanya hanya hujatan serta sentimen. Berbicara hanya berdasarkan terkaan dan emosi. Kebencian begitu ditonjolkan hingga fakta menjadi terlupakan, post truth.

Jatuh standar kita bernengara, rendah standar politisi kita. Marilah kita jujur dengan keadaan kita hari ini, menerimanya dengan lapang dada, dan berubah untuk lebih baik. Saat kita mulai menerima keadaan kita hari ini berarti kita sudah bisa mendiagnosa peyakit kita.

Marilah kita naikkan standar kita berpolitik, politik tak lepas dari intelektual, itulah yang diajarkan oleh pendahulu kita. Disamping lidah mereka berbantah-bantahan namun dibalik itu pena mereka juga saling beradu. Andaikan boleh memberi syarat untuk menjadi politisi maka syaratnya adalah lidah dan pena. Lidah untuk beretorika dan pena untuk mengukuhkan gagasannya agar panggung politik tak menjadi 'komedi omong' lagi.

Menurutmu siapa politisi hari ini yang vokal dalam bicara dan menulis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun